Cinta Suci Terbenam Dalam Lumpur Menjijikkan (6)

Cinta Suci Terbenam Dalam Lumpur Menjijikkan (6)

Eli tidak pernah membayangkan sosok yang selama ini dia hormati ternyata berperilaku menyimpang. Anggota LGBT (lesbi, gay, biseksual, dan transgender). Eli juga menyayangkan lelaki dengan fisik sempurna tersebut terjerat ranjau kemaksiatan senista itu. Padahal, Suci merupakan perempuan cantik yang jadi idola banyak orang. Bukan hanya bunga desa, dia layak dijuluki bunga kabupaten. Selama perjalanan pulang sore harinya, Eli merancang kalimat-kalimat yang akan disampaikan ke Suci. Tidak mudah, tapi Eli terus berusaha. Saking tidak yakinnya terhadap diri sendri, Eli sampai menuliskan rancangan kalimat-kalimat dadi. Dia berharap Suci memahaminya tanpa harus merasa terlalu tersakiti. Benarkah bisa semudah itu menyampaikan kabar penyelewengan seorang suami kepada istri? Apalagi ini bukan penyelewengan biasa. Hatinya berperang. Saling tarik-ulur. Hingga sampai rumah, Eli belum menemukan format kalimat yang tepat untuk disampaikan kepada Suci. Eli Sucih dikejutkan kenyataan bahwa saat itu Budi sudah berada di rumah. Sedang makan malam. Eli dan seorang teman yang indekos di rumah tersebut, sebut saja Ningsih, langsung bergabung. Makan malam itu menjadi moment yang menyiksa bagi Eli. Bayangan kemesraan Budi dengan teman lelakinya terus membayang. Eli tidak berani menatap wajah Budi. Takut lelaki tersebut tahu bahwa Eli sudah tahu semua realita busuknya. Gadis bermata rembulan itu tidak sanggup menghabiskan makananannya. Dia minta izin meninggalkan tempat lebih dulu. Tapi baru hendak menapakkan langkah, Budi menyebut namanya. “Eli.” Dada Eli berdetak keras. Dia takut apa yang dia khawatirkan tadi jadi kenyataan. “Sabtu depan ada acara nggak? Mas Budi ingin mengajak kalian bertiga week end di Batu. Mas Budi menemukan persewaan vila yang bagus,” imbuh Budi. Tensi kekhawatiran Eli menurun. Detak jantungnya kembali normal. “Maaf Mas, Eli ada acara sendiri. Menyelesaikan skripsi beramai-ramai dengan teman-teman. Kebetulan ada yang memiliki vila,” katanya. Teryata Suci juga menolak. Demikian jula Nia. Dia beralasan sepupunya di desa akan menikah. Dia harus rewang-rewang. “Tapi cuma sehari kok. Minggunya aku sudah balik ke sini.” Hari Sabtu sudah tiba. Seisi sibuk dengan urusan masing-masing. Suci bersiap diri akan menghadiri arisan, Nia pulang kampung menghadiri pernikahan sepupu, Eli hendak menyelesaikan tugas skripsi. Hanya Budi yang tidak punya agenda acara karena rencananya mengajak week end ditolak secara aklamasi. Eli akhirnya berangkat ke Batu. Ke vila yang sama dengan yang acara Sabtu-Minggu pekan sebelumnya. Hampir seharian waktunya habis untuk acara membahas bahan-bahan skripsi. Selepas Ashar, Eli mencari udara di lantai dua. Tempatnya bakar-bakar pekan lalu. Sepi. Hanya ada embusan angin. Tiba-tiba secara samar terdengar bunyi air dibelah. Kecipak. Dengan Sucis Eli menoleh ke asal suara. Ternyata dari vila yang pekan lalu dijadikan tempat indehoi Budi dengan rekan lelakinya. Terlihat dua lelaki dengan hanya memakai celana dalam berkubang di kolam. Terburu-buru Eli mencari teropong. Dapat. Eli langsung mengarahkan moncong teropong ke kolam renang. Di balik teropong, Eli kembali menyaksikan Budi beradegan mesra dengan seorang lelaki. Tapi, kali ini lebih agak tua dibanding pekan lalu. (jos, bersambung)  

Sumber: