Dewan: Polemik DKS-DKKS Hambat Pemajuan Kesenian dan Kebudayaan
Surabaya, memorandum.co.id - DPRD Surabaya turut menyayangkan upaya Pemerintah Kota (pemkot) Surabaya yang membentuk dewan kesenian versi baru yakni, Dewan Kesenian Kota Surabaya (DKKS). Padahal, sudah ada Dewan Kesenian Surabaya (DKS) yang eksis sejak 1971. "Adanya dua versi DKS ini cukup kami sesalkan. Seyogyanya, dalam satu kota atau provinsi itu cukup satu saja," kata Wakil Ketua DPRD Surabaya A Hermas Thony, Rabu (22/6). Sebelumnya, polemik antara pemkot dengan DKS sempat ditengahi dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi D DPRD Surabaya pada Jumat (22/5). Rapat saat itu dihadiri Asisten Perekonomian dan Pembangunan Irvan Widyanto dan Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olah Raga serta Pariwisata (Disbudporapar) Wiwiek Widayati. Juga Ketua DKS Chrisman Hadi beserta barisannya. Rapat berjalan singkat. Tidak ada keputusan konkrit. Pemkot buru-buru meninggalkan ruangan. Namun, saat itu pemkot bersedia mencari solusi atas permasalahan yang timbul. "Mendadak muncul SK Wali Kota tertanggal 25 April tentang Tim Pembentukan Dewan Kesenian Kota Surabaya (DKKS) Periode Tahun 2022-2027. Disusul kemudian musyawarah pengurus DKKS pada 10 Juni. Ini kan aneh, legislatif tidak diberi tahu adanya SK tersebut saat hearing," cetus Thony. Politisi senior ini lantas menilai pemkot bersikap tertutup. Tidak komunikatif terhadap permasalahan yang terjadi. Justru bertindak liar dengan membentuk DKKS. Ketidaktransparan pemkot ini, lanjut Thony, yang harusnya membuat DKS menjadi konstruktif, malah menjadi konflik. "Kami melihat tidak ada keterbukaan dari adanya rencana pemkot membentuk DKKS. Mestinya yang hadir dalam rapat itu, harus menyampaikan. Pasti mereka ngerti soal itu. Jadi ya, kami melihatnya kurang transparan dan sebagai unsur kesengajaan bahwa pembentukan DKS baru itu sudah by desain," tandas politisi Gerindra ini. Thony juga menyayangkan kepanitiaan musyawarah pemilihan kepengurusan DKKS periode 2022-2027. Seharusnya sebelum melakukan pemilihan, turut mengundang pihak DKS yang dipimpin Chrisman Hadi. Sebagaimana yang dilakukan DKS, yang turut mengundang pemkot dalam muskot 2019. "Kemunculan SK Wali Kota 25 April itu untuk membentuk panitia, yang berarti panitia bekerja atas nama wali kota. Maka semestinya panitia sebelum melakukan pemilihan, mengundang kepada pihak yang sudah mengadakan musyawarah sebelumnya. Sehingga ada proses koordinasi, mensinergikan, dan tidak timbul masalah baru," jelas Thony. Pimpinan dewan ini lantas mendorong Komisi D untuk menghelat hearing. Dia berharap, Komisi D sebagai leading sector dapat memfasilitasi untuk bisa menyelesaikan perbedaan tersebut. Sebab, dengan adanya 2 dewan kesenian di Surabaya akan membuat misi pemajuan kesenian dan kebudayaan menjadi terhambat. "Nanti itu kajian pengembangan kesenian dan kebudayaan di Surabaya tidak kompetitif dalam pelaksanaan, namun lebih kompetitif terhadap konfliknya. Dan itu akan kontraproduktif terhadap misi kita bersama dalam pembangunan kesenian dan kebudayaan di Surabaya," bebernya. Kendati demikian, Thony tak memungkiri banyak jalur yang bisa ditempuh. Barisan Chrisman dkk manakala menganggap pembentukan DKKS merugikan, maka dapat diuji melalui jalur hukum. "Itu masih sangat terbuka. Piranti-piranti hukum untuk menguji itu sangat memungkinkan untuk dilakukan. Bukan berarti berkat rekomendasi itu, kami tidak bertanggung jawab. Kami tetap berkomitmen menjadikan kesenian dan kebudayaan semakin maju. Maka dari itu, dewan kesenian harus legitimate. Legitimate secara yuridis, administratif, maupun praktis," tuntas AH Thony. (bin)
Sumber: