Tua-Tua Keladi, Sudah Lansia kok Pingin Rabi (2)

Tua-Tua Keladi, Sudah Lansia kok Pingin Rabi (2)

Berubah sejak Bik Ningsih Balik dari Kampung

Sejak ada Bik Ningsih di rumah, kenyataannya sikap Sulkan berubah. Dia tidak pernah lagi makan di kamar. Sulkan ikut makan bareng bersama keluarga. Bukan tanpa alasan itu dilakukan. Bandi menduga ayahnya melakukan itu karena tahu Bik Ningsih ikut bersama-sama makan bareng keluarga. Tidak itu saja. Sulkan jadi rajin berolahraga. Ini pun bukan tanpa alasan. Faktanya ruang olahraga berhadapan langsung dengan dapur dan tempat mencuci pakaian, di mana Bik Ningsih lebih banyak beraktivitas. Hampir 80 persen kegiatan Bik Ningkih berkutat di tempat-tempat itu. Sulkan tidak lagi istiqomah berdiam diri di kamar. Selain olahraga, dia sering jagongan di kursi teras belakang rumah. Teras tersebut juga dekat dengan dapur dan tampat cuci-seterika baju. Suatu saat Bandi mencoba duduk di kursi yang biasa diduduki ayahnya. Ternyata dari titik itu Bandi bisa melihat banyak sudut di dalam rumah. Setiap orang memasak di dapur, setiap orang mencuci dan menyeterika, serta lalu lalang ke ruang keluarga dapat dipantau. Saat itulah Bandi melihat Bik Ningsih sedang di dapur. “Jadi, selama ini Ayah…” batin Bandi sambil tersenyum. Tanpa didahului hujan dan angin, tiba-tiba suatu malam terjadi badai besar di dada Bandi. Badai itu datang ketika lelaki murah senyum ini diajak ayahnya jagongan santai di teras belakang rumah. “Ini bukan sekadar permintaan, tapi permintaan yang disertai paksaan,” kata Sulkan di tengah udara malam yang mulai dingin. Waktu itu sekitar pukul 22.00. Mendung yang sejak sore menggelantung di bawah langit tidak segera menjelma menjadi hujan. “Maksud Ayah?” tanya Bandi. Sebenarnya dia sudah menduga arah pembicaraan sang ayah, namun Bandi ingin mendengar kepastian dari orang yang sudah masuk usia lanjut itu. “Ini tentang Bik Ningsih,” kata Sulkan lirih. Bandi tak segera bereaksi. Dia menunggu ayahnya melanjutkan kalimatnya. Sabar. Dan benar, tak lama kemudian Sulkan membuka mulut. Kali ini terlihat agak ragu, tapi akhirnya kalimat tersebut meluncur juga. “Nikahkan aku dengan dia,” lanjut Sulkan lirih. Walau sejak awal sudah menduga, tak urung jantung Bandi berdetak kencang. Seperti ada badai berkecamuk di dadanya. Sejenak Bandi teringat bagaimana sang ayah mencuri-curi pandang ke arah Bik Ningsih saat menata jamuan makan malam. Juga, ketika Bandi memergoki Sulkan melirik ke arah dapur pada saat jagongan pagi di teras belakang. Waktu itu kebetulan Bik Ningsih sedang memasak. Ayahnya pernah pula dipergoki anak-anak saat minta dipijit Bik Ningsih, namun ditolak janda dua kali tersebut. “Sebenarnya itu bukan karakter Ayah. Beliau mungkin hanya menggoda Bik Ningsih. Ayah adalah orang yang agamis banget. Di kampung beliau di Blitar, Ayah dipercaya menjadi takmir masjid dan menjadi imam tetap,” kata Bandi. (jos, bersambung)  

Sumber: