Perempuan Beranaktirikan Anak Indigo (2)

Perempuan Beranaktirikan Anak Indigo (2)

“Rumah Kita Akan Jadi Akurium Raksasa”

Budi harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Tidak hanya patah, ada bagian tulang lengan yang hancur. Di atas siku. Untung masih bisa ditanggulangi. Indah terpana. Pasca kejadian itu dia menemui Mentik dan bertanya, “Temanmu ngomong apa ketika melarang Papa keluar rumah malam itu?” “Papa bakal berdarah. Jangan ke mana-mana.” “Nawang ngomong begitu?” Mentik tidak menjawab. Dia berlari seperti ada yang menarik lengannya. Hal serupa terjadi beberapa hari kemudian. Saat itu Budi masih harus menjalani rawat jalan sepulang dari rumah sakit. Mentik mengaku dibisiki Nawang agar memindahkan barang-barang di lantai bawah rumahnya ke loteng. “Rumah kita akan jadi akurium raksasa,” kata Indah menirukan ucapan Mentik. Hal itu Indah sampaikan kepada sang suami. Tapi, Budi menganggap informasi Nawang yang disampaikan lewat Mentik sebagai lucu-lucuan. Mana mungkin rumah mereka berubah menjadi akuarium. Raksasa, lagi. “Ah, dasar anak-anak. Imijinasinya kadang kelewatan,” kata Budi. Sehari-dua hari lewat. Terbukti tidak terjadi apa-apa. Budi yang work from home (WHF) seharian itu bahkan merasakan udara sangat gerah. Terpaksa ia beraktivitas tanpa baju. Ote-ote. Kipas angin tidak mampu mengusir kepenatan. Udara panas hanya muleg koyok entut diblender. Pengab. Mau menggunakan AC, eman. Kondisi pandemi memaksa Budi harus melakukan pengiritan. Apa-apa mahal. Sore hari udara semakin pengab. AC di ruang keluarga dinyalakan di luar jadwal. Biasanya AC di ruang keluarga yang menjadi satu dengan ruang makan itu hanya dinyalakan saat makan siang dan makan malam. Untuk mengirit, sudah beberapa minggu AC sengaja dimatikan. Digantikan kipas angin yang selama ini hanya disimpan di gudang. “Kami nonton ajang pencarian bakat bareng-bareng di televisi,” kata Indah. Tanpa terasa semua tertidur. Sangat pulas. Bunyi tetes air yang lumayan deras tidak terdengar. Budi terbangun ketika tubuhnya digoyang-goyang sang istri. Ternyata air sudah menggenang. Makin lama makin tinggi. Di luar, teriakan “banjir-banjir” terdengar sahut-menyahut. Tapi, tidak terdengar seperti orang panik. Malah lebih mirip orang guyon. Itu mungkin dikarenakan banjir sudah sangat sering terjadi di daerah mereka. Namun tidak seperti biasanya, kali ini genangan banjir lebih tinggi. Mencapai pinggang orang dewasa. Di beberapa wilayah bahkan sampai dada. Beberapa benda elektronik yang biasanya diselamatkan ke atas meja atau anak tangga sudah bisa, kali ini tidak. Maka, banyak di antara benda-benda itu yang korslet, terbakar, dan rusak. Budi bersama beberapa keponakan lelaki yang tinggal di rumahnya bekerja keras menyelamatkan benda-benda berharga ke lantai dua. Tiba-tiba listrik padam. Suasana terkurung pekat. (jos, bersambung)    

Sumber: