Ekosistem Pendukung Jadi Tantangan Terbesar Peralihan Kendaraan Konvensional ke Listrik

Ekosistem Pendukung Jadi Tantangan Terbesar Peralihan Kendaraan Konvensional ke Listrik

JAKARTA, memorandum.co.id – Peralihan dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik bukan perkara mudah. Salah satu tantangan terbesarnya adalah membangun ekosistem pendukungnya, terutama stasiun pengisian ulang baterai dan juga penggantian baterai (swap). Demikian disampaikan Fabby Tumiwa, Executive Director Institute for Essential Services Reform saat memberikan pemaparan di webinar yang diadakan Forum Wartawan Teknologi (Forwat), Rabu (25/5/2022). Menurutnya, emisi dari sektor transportasi menyumbang 27% dari total emisi atau sekitar 160 juta ton di Indonesia pada tahun 2020. Total emisi pada tahun 2020 sebesar 590 juta ton dan diperkirakan akan terus naik jika tidak dilakukan intervensi. "Penyumbang emisi terbesar pada tahun 2020 berasal dari sektor ketenagalistrikan sebesar 35% yang diikuti dengan sektor transportasi yaitu 27%. Agar mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2050 di seluruh dunia, diperlukan dekarbonisasi pada kedua sektor tersebut, khusus sektor transportasi, salah satunya adalah dengan peralihan kendaraan listrik," ujar Fabby. Fabby menyebut, kendaraan listrik harus menguasai 40% total penjualan kendaraan pada tahun 2030 secara global untuk mencapai net zero emission pada tahun 2050. Di Indonesia, misalnya, hanya 3.500 unit kendaraan listrik roda dua dan 1.800 unit kendaraan listrik roda empat yang terjual pada tahun 2021. Data World Resources Institute menunjukkan bahwa Indonesia menyumbang 2,03% emisi gas yang mengotori udara dunia (10 tertinggi  di dunia). Di seluruh dunia diakui jika transportasi memiliki kontribusi yang cukup besar dalam emisi gas rumah kaca. Bahkan kontribusinya bisa mencapai 15 persen secara global. Menurut I Gusti Ayu Andani dari Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung (ITB), tak hanya soal kontribusi emisi gas Indonesia yang masuk peringkat 10 tertinggi  dunia, tapi yang harus dikhawatirkan adalah level rata-rata emisi gas rumah kaca di Indonesia yang terus meningkat. "Peningkatan level emisi di Indonesia  tiap tahun lebih tinggi daripada rate global. Ini artinya tak ada penurunan secara signifikan," ujar Ayu. Ayu menambahkan, upaya berkelanjutan untuk mencapai NZE dari sektor transportasi tak melulu harus menggunakan teknologi pintar yang terlalu rumit. Beberapa ciri sistem transportasi pintar yang bisa diimplementasikan adalah shared mobility, elektrik mobility dan integrated mobility. "Shared  mobility adalah ride sharing seperti yang sudah diterapkan perusahaan seperti Gojek. Juga mobilitas yang terintegrasi dimana semua angkutan sudah terkoneksi dan terintegrasi satu sama lain. Sedangkan elektrik mobility adalah menggunakan kendaraan yang lebih ramah lingkungan seperti kendaraan listrik," papar Ayu. Namun begitu, menurut Ayu, semua infrastruktur transportasi ramah lingkungan harus berkesinambungan. Tak hanya menyediakan kendaraan listrik, tapi juga infrastruktur pendukung lainnya, seperti pengisian ulang daya listrik. Pernyataan Ayu juga diperkuat Fabby. Kata dia, infrastruktur pengisian kendaraan listrik dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kendaraan listrik, walaupun saat ini realisasi pengembangannya masih jauh dari target yang telah ditentukan. Fabby menjelaskan, realisasi stasiun pengisian ulang baterai SPKLU dan penggantian baterai atau SPBKLU hanya mencapai, masing-masing 47% dan 9%, dibandingkan peta jalan yang telah dibuat kementerian ESDM pada tahun 2021. Padahal, dia yakin, infrastruktur pengisian kendaraan listrik yang terwujud dengan baik dapat membantu mengurangi range anxiety dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kendaraan listrik. Ayu sendiri mengapresiasi apa yang telah dilakukan salah satu aplikasi di Indonesia, yakni Gojek. Menurutnya, walaupun UU Transportasi belum memasukkan aplikasi seperti Gojek sebagai moda angkutan umum, namun model ride-sharing ini bisa diandalkan untuk menurunkan emisi CO2 secara berkelanjutan. Salah satunya dengan mendukung penggunaan kendaraan listrik dan menyediakan integrasi end to end. Hal ini akan terbukti memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap lingkungan. Menanggapi hal ini, Vice President Corporate Affairs Gojek, Teuku Parvinanda mengungkapkan bahwa Gojek sejak tahun lalu sudah memiliki komitmen untuk mewujudkan Nol Emisi Karbon (Zero Emissions) pada tahun 2030 sebagai bagian dari keseriusan kami untuk mencapai target Tiga Nol (Three Zeroes) pada tahun yang sama - yaitu Nol Emisi Karbon, Nol Sampah (Zero Waste), dan Nol Hambatan (Zero Barries) . Masing-masing mencakup masalah mendesak terkait dengan kinerja lingkungan, sosial, dan tata kelola sehingga telah menjadi fokus Gojek dan faktor pendorong perusahaan untuk memberikan upaya terbaik dalam segala hal yang dilakukan. "Ramah Lingkungan juga merupakan isu yang relevan dan perlu menjadi perhatian serta prioritas kita bersama. Niat untuk memberikan yang terbaik bagi para pihak dalam ekosistem kami sudah ada sejak awal, dengan mengatasi tantangan nyata yang dihadapi warga Indonesia setiap harinya, karena itu kami hadirkan beragam inovasi mulai dari kehadiran fitur GoGreener pada aplikasi kami, uji coba kendaraan listrik, hingga GoTransit," papar pria yang kerap disapa Andri itu. Selain itu Gojek pun mempercepat proses transisi menuju kendaraan listrik (EV) di Indonesia dengan melakukan uji coba 500 unit EV roda dua di Jakarta Selatan.  Guna menjawab tantangan infrastruktur kendaraan listrik, Gojek berkolaborasi dengan Pertamina untuk menyediakan stasiun penukaran baterai, di tujuh (7) pompa bensin Pertamina di Jakarta Selatan. Dengan demikian, mitra driver Gojek bisa mencoba motor listrik dengan keuntungan operasional yang lebih murah dibandingkan dengan motor konvensional. "Di akhir tahun 2021, Gojek berkolaborasi dengan TBS Energi Utama telah membentuk Electrum untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Kemudian  di Februari 2022, komitmen ini kami perkuat lagi bersama beberapa pihak, yaitu Pertamina, Gesits, Gogoro serta menghadirkan layanan GoRide elektrik. Sehingga, selain menghadirkan moda transportasi ramah lingkungan, kami pun memastikan kemudahan akses bagi konsumen dan juga mitra kami," papar Andri. Program hijau lainnya yang dilakukan Gojek adalah fitur GoGreener yang mengajak konsumen 'menanam pohon' sambil jalan naik GoRide dan GoCar, sebagai bagian dari kontribusi individu untuk menyerap jejak karbon. Sejak fitur ini diluncurkan, Gojek bersama konsumennya telah berhasil mengumpulkan, menanam ataupun mengadopsi 5.000 lebih pohon di 13 lokasi berbeda melalui fitur GoGreener Serap Jejak Karbon (GoGreener Carbon Offset). Pada bulan April 2022, Gojek meluncurkan secara resmi fitur Pohon Kolektif GoGreener yang mendorong  konsumen sambil jalan bisa tanam pohon, hanya dengan menambahkan biaya Rp1.000 - Rp2.000. Sebagai langkah awal peluncuran fitur ini, Gojek kembali menanam 1.000 bibit pohon di Demak Jawa Tengah, dan setiap tiga (3) bulan, pohon yang berhasil dikumpulkan konsumen akan ditanam di lokasi tersebut serta lokasi-lokasi lainnya. "Kurang dari satu bulan telah terdapat lebih dari 100.000 pengguna yang mengaktifkan fitur Pohon Kolektif GoGreener," papar Andri. Tidak berhenti sampai di situ, Gojek juga menghadirkan  fitur GoTransit yang memungkinkan terjadinya integrasi layanan transportasi Gojek dengan penyedia layanan transportasi publik. Dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, konsumen bisa turut mengurangi jejak karbon sambil tetap beraktivitas sehari-hari. Fabby mengatakan, upaya Gojek ini khususnya dalam menghadirkan infrastruktur kendaraan listrik yang komprehensif dan ramah lingkungan diharapkan bisa diikuti oleh perusahaan transportasi lainnya. Berbagai inisiatif seperti yang dilakukan Gojek, khususnya  penggunaan kendaraan listrik dapat menurunkan emisi karbon sebesar 28% pada kendaraan roda 4 dan 55% pada kendaraan roda dua. Apalagi, Total Cost Ownership kendaraan listrik semasa hidup baterai, 20% lebih murah dibandingkan dengan kendaraan konvensional. (*/iku/gus)

Sumber: