Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Pengepungan (7)

Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Pengepungan (7)

Toh Kuning menggelengkan kepala. Katanya, ”Itu karena aku adalah seorang perwira.” “Tidak!” potong Ken Arok. Lanjutnya, ”Tidak semua perwira Tumapel mendapat tempat dalam hati Tunggul Ametung. Kau adalah sesuatu yang khusus. Kau sangat berarti baginya.” Toh Kuning menatap langit yang cerah. Lalu ia berkata, ”Aku tidak ingin berpikir tentang dirinya. Jadi aku tidak ingin menduga anggapan dan penilaiannya padaku. Aku hanya ingin istirahat dan kembali ke barak saat malam tiba. Lalu aku jalani hari setapak demi setapak.” Ia memandang Ken Arok, kemudian berucap, ”Suatu ketika aku akan tiba di ujung jalan dan aku ingin tahu apa yang akan terjadi padaku bila masa itu tiba.” Ken Arok menepuk bahu Toh Kuning dan berkata, ”Kau akan tahu karena kau mempunyai pengetahuan untuk meniti jalan itu.” Lantas keduanya meninggalkan perayaan yang menyusut keramaiannya. Tanpa banyak cakap kemudian mereka berpisah. Toh Kuning berjalan menuju barak yang telah disediakan baginya dan pasukan khusus, sementara Ken Arok melangkah memasuki lingkungan yang menjadi tempatnya tinggal. Demikianlah kemudian, keesokan hari, Toh Kuning beserta pasukannya meninggalkan Tumapel. Mereka dilepas oleh Akuwu Tumapel dalam upacara yang meriah. Pasukan khusus Selakurung tiu terlihat gagah dengan pakaian keprajuritan yang lengkap dengan tanda-tanda yang menjadi keistimewaan mereka.   Ketika matahari belum lelah menyinari bumi, tahun terus melangkah dan seringkali ia meninggalkan masa lalu tanpa menoleh lagi ke belakang. Toh Kuning masih sibuk dengan pekerjaannya. Ia bermain-main dengan kuda yang telah dianggapnya seperti kawan yang mengerti kemauannya. Perwira yang lebih tua darinya telah berulang kali mengingatkannya untuk tujuan lain dari kehidupan. Tetapi Toh Kuning selalu menanggapinya dengan senyum tanpa kata-kata. Sekali pun ia sering merasa sendiri namun Gubah Baleman belum lelah untuk menasehatinya. Musim berganti dengan menyeret angin yang terengah-engah merayap. Seiring dengan perubahan itu, Toh Kuning semakin jauh setapak demi setapak dari Ken Arok. Terlihat tangan Toh Kuning terkadang mengusap kening. Berat baginya untuk mengabaikan keberadaan Ken Arok yang telah mengguncang tanah Kediri. Berat pula baginya untuk menghilangkan kenangan betapa mereka saling membantu di masa lalu. Kedua lelaki muda itu saling mendukung ketika melewati masa sulit. Pun ketika mereka berada di bawah deras rintik senjata sewaktu menghadang perjalanan saudagar-saudagar kaya. Berdua, mereka telah melintasi banyak lembah dan ngarai, sungai dan hutan demi sebuah tujuan. Impian. Sebagai sahabat, Toh Kuning dan Ken Arok telah banyak mematrikan janji. Di bawah pohon, di depan batu cadas maupun di ambang jurang. Sungguh, tak mudah bagi Toh Kuning untuk mengingatkan Ken Arok! Toh Kuning berada di Selakurung pada saat Tumapel digoncang kejadian yang menggetarkan. Gubah Baleman sengaja menahan Toh Kuning agar tetap berada di dalam barak. “Aku tidak ingin kau gagal saat membagi perhatian. Ken Arok adalah sahabatmu tetapi pembunuhan itu merupakan peristiwa yang tidak dapat disangkal. Jika aku biarkan, mungkin kau akan membawa pasukanmu utnuk memberi hukuman padanya. Namun aku mengerti bahwa kau telah memahami keadaan di Tumapel,” kata Gubah Baleman pada suatu ketika. (bersambung)      

Sumber: