Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Perwira (7)

Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Perwira (7)

Toh Kuning dapat mengerti tingkat hubungan antara Akuwu Tunggul Ametung dengan Sri Baginda Kertajaya, maka ia ia bersikap hati-hati dalam memutuskan dan bertindak. “Jerabang,” berkata Toh Kuning, ”kita akan mengikuti mereka hingga esok hari. Dan jika kita mempunyai petunjuk yang dapat menuntun kecurigaan bahwa mereka adalah tersangka, maka kau harus memberikan kabar pada kawan-kawan.” Toh Kuning menjelaskan cara mereka untuk menghubungi kelompok lain dalam waktu singkat. Jerabang akan menemui kelompok pertama yang mengawasi sisi selatan Jalur Banengan, lalu ia dan seorang lagi akan menghubungi yang lain dan seterusnya. Sehingga orang yang menjadi pemimpin kelompok dapat langsung menuju tempat yang ditentukan Toh Kuning untuk berkumpul. Jerabang mengangguk-angguk. Ia berkata kemudian, ”Toh Kuning, berarti kita harus menemukan jalan masuk. Mungkin mereka mengenalimu tetapi mungkin juga mereka tidak tahu jika kau sekarang telah berbeda sama sekali dari masa lalu.” Toh menyahut pendek,”Ya.” Tetapi saat itu Jerabang seperti tidak memperhatikan Toh Kuning. Ia seolah berada di tempat lain dan melihat sesuatu yang mempunyai daya tarik sangat besar. “Apakah kau telah mempunyai tambatan hati, Jerabang?” tersenyum Toh Kuning sambil melemparkan sebatang rumput ke wajah Jerabang. Ia mengulangi pertanyaannya ketika Jerabang tidak memperhatikan padanya.   Jerabang sedikit gugup saat menyadari bahwa Toh Kuning memperhatikan tingkah polahnya. Dengan raut wajah merah, ia menjawab, ”Belum.” “Tetapi aku harus akui bahwa gadis itu memang menarik.aku kira ia memang pantas bersanding denganmu,” kata Toh Kuning, ”setelah urusan kita selesai, aku akan bicara dengan orang tuanya. Kebetulan aku tahu rumah gadis itu dan kami bertetangga.” Toh Kuning tertawa ketika Jerabang menyembunyikan wajah lalu mengumpat padanya. Sejenak kemudian, rombongan orang berpakaian biru hitam melintas agak jauh dari mereka. Beberapa orang menepi saat berpapasan dengan mereka karena tidak ingin membuat masalah dengan kelompok asing yang memasuki pedukuhan. Toh Kuning mengawasi dengan kepala terangguk-angguk. Ia berkata lirih, ”Agaknya mereka akan pergi menuju rumah yang menjadi tujuan kita.” Jerabang mengangkat wajah, lalu katanya, ”Benar. Sepertinya memang begitu.” “Ikuti dan pastikan mereka benar-benar masuk dalam rumah itu,” perintah Toh Kuning, ” berhati-hatilah.” Jerabang berpaling kepadanya dan mengangguk. Ia kemudian berjalan mengendap di sela-sela pepohonan yang tumbuh di tepi jalan. “Mereka masuk ke dalam rumah itu, Toh Kuning,” Jerabang melaporkan sesaat kemudian. ”Mereka tidak tampak keluar dari regol halaman saat aku kembali ke sini.” Toh Kuning mengerutkan kening. ”Kita datangi rumah itu tengah malam nanti. Kita akan berjalan kaki lalu mengawasi keadaan di sekitar rumah itu,” berkata Toh Kuning. Jerabang mengangguk-angguk. Ia bertanya kemudian, “Lalu bagaimana dengan kuda kita, Toh Kuning?” “Kita titipkan pada orang yang aku kenal baik,” Toh Kuning menjawab lalu berjalan menuntun kudanya ke arah rumah berdinding bambu yang terletak tak jauh dari pohon beringin kembar. Perlahan Toh Kuning mengetuk pintu lalu keluarlah seorang lelaki dengan keriput memenuhi raut mukanya yang masih  segar. “Apakah rumah ini tempat tinggal Ki Sunu?” bertanya Toh Kuning. Lelaki renta itu sedikit memicingkan matanya dan mencoba memandang Toh Kuning lebih dekat.” Kaukah itu, Ngger?” lelaki itu bertanya balik dengan mata berbinar. “Ya, Ki Sunu. Ini aku,Toh Kuning,” jawab Toh Kuning ramah. “Mari, mari. Silahkan masuk, Angger berdua,” Ki Sunu membuka pintu lebar-lebar dan membawa kedua tamunya menuju bangku kayu sederhana. Setelah mereka saling menanyakan kabar masing-masing, Toh Kuning berkata, ”Mungkin saya akan membuat Ki Sunu menjadi repot.” “Tidak mengapa, Ngger. Apapun permintaanmu tidak akan membuatku repot,” kata Ki Sunu, ”kau adalah anak muda yang aku anggap sebagai anakku sendiri.” Lalu Ki Sunu memangil Nyi Sunu yang berada di ruangan dalam. Sejenak kemudian Nyi Sunu telah berada di ruang tamu. Untuk beberapa saat ia seperti tidak percaya ketika bertemu dengan Toh Kuning. Cahaya obor kecil yang terpasang di sudut rumah telah membantu Nyi Sunu mengingat sosok yang tegap berdiri di hadapannya. (bersambung)      

Sumber: