Perjalanan Jiwa Seorang Lelaki Pasca Di-PHK (1)

Perjalanan Jiwa Seorang Lelaki Pasca Di-PHK (1)

Terserang Stroke, Tubuhnya Jadi Cacat

Wajahnya muram dan keruh. Tidak tenang, Tubuhnya terus usrek. Orang itu duduk di warung kopi dekat pengadilan agama (PA) itu, sebut saja Rudi. Sekotak rokok yang tinggal sebatang tergeletak di meja. Berdampingan dengan secangkir kopi yang sudah tandas. “Nunggu teman?” tanya Memorandum yang baru tiba di warung itu. Ia hanya tersenyum. Berat. Bahkan terkesan dipaksakan. Ia menggeser duduknya dan mempersilakan Memorandum duduk. “Monggo,” katanya. Rudi mengaku tadinya hendak ke PA, tapi diurungkan. “Lho, mengapa?” tanya Memorandum. Mendengar nada bicaranya, tampak sekali bahwa Rudi sedang bingung. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. “Bingung,” kata Rudi. Singkat. “Kenapa bingung?” Rudi hanya memandang Memorandum, lalu tertunduk lagi. Menghayati sedotan terakhir batang rokoknya. Dia menggeleng dan menarik napas panjang. Sepi. Senyap. “Kami jatuh miskin.” Sepi lagi. Senyap lagi. “Setengah tahun lalu aku sakit. Stroke. Pendarahan di batang otak. Kini aku cacat,” tutur Rudi. Bicaranya memang kurang jelas. Agak pelo, tapi masih bisa dimengerti lawan bicara. “Semua terlihat normal begitu lho,” sanggah Memorandum. “Aku tidak bisa berjalan tegak. Agak dingklang. Memori otakku tidak seperti dulu lagi. Terbatas.” Rudi lantas berdiri dan memeragakan jalannnya. Agak terseok, memang. Badannya juga tampak agak miring ke kanan. Lelaki yang baru berusia 45 itu mengaku di-PHK secara sepihak oleh perusahaan tempat kerjanya, dua bulan silam. “Masa depanku sudah tamat,” tuturnya. Ada nada keluhan pada kalimatnya itu. Padahal, imbuh Rudi, dia haru menanggung cicilan rumah yang masih cukup panjang. Sisa kredit yang harus diangsur Rp 2.050.000 per bulan masih berderet. “Dari mana aku dapat uangnya? Dalam kondisi tubuh seperti ini?” tanya Rudi sambil memandang tajam Memorandum. Memorandum sempat heran: kami baru saja bertemu, tapi lelaki berkumis tebal itu sangat terbuka menceritakan penderitaannya. Pasti batin dia tertekan. Stres. Depresi. “Sabar. Ini ujian dari Yang Mahaesa,” kata Memorandum, yang mungkin jauh lebih stres andai harus menghadapi kenyataan hidup seperti Rudi. Ah… ngomong memang mudah. Tapi melaksanakan? (jos, bersambung)    

Sumber: