Balada Pengemis Buntung (4-habis)

Balada Pengemis Buntung (4-habis)

Mbah Bungkul Jadi Saksi

Di rumahnya di kawasan Wiyung, Lina mencermati foto-foto hasil jepretan selama mengikuti lelaki mirip Untung sebelum dia menghilang ditelan tikungan. Memang ada kemiripan dengan Untung. Cuma, wajah orang itu tampaknya lebih tua, lebih kotor, dan badannya lebih kekar. Selain itu, kakinya buntung sebelah. Tapi, bisa saja kan itu adalah “pakaian dinas” Untung? Keesokan harinya Sabtu malam Minggu, mereka kembali menyusuri jalan dan mencari TL yang kemarin. Ketemu. Ternyata di depan Stasiun Gubeng, dekat kompleks Monumen Kapal Selam. Satu jam lebih mengawasi daerah itu sambil makan di warung Gubeng pojok, tidak ada hasil. Rombongan bergeser, berencana ke Tunjungan Plaza (TP) dengan sedikit memutar lewat Kayoon. Di tengah perjalanan, tepatnya dekat tikungan Jalan Pemuda belok kiri ke Jalan Kayoon, Lina berteriak. Dia melihat peminta-minta kemarin duduk bersimpuh di samping tukang tambal ban. Kami pun menepi mencari tempat parkir. Lina akhirnya berhasil mendekat ke peminta-minta yang dia curigai. Lelaki itu kaget melihat kedatangan Lina. Dia berusaha kabur dengan tergesa-gesa. Kakinya yang bunting diseret. Lina terus mengikuti ke mana perginya. Terus. Terus. Dan terus, sampai dia kelelahan dan akhirnya berhenti. “Ada apa Mbak terus-menerus mengejar saya? Kemarin juga kan?” tanya orang itu. Lina kaget, ternyata suara peminta-minta itu berbeda dari suara Untung. Akhirnya Lina berterus terang bahwa ia sedang mencari suami. Kembali tanpa hasil, Lina cs putuskan malam itu mencukupkan pencarian. Minggu pagi mereka mencoba peruntungan dengan mendatangi Taman Bungkul saat car free day (CFD). Tanpa diduga, Lina betemu peminta-minta yang tadi malam dekat warung rawon kalkulator. Ternyata orang itu diam saja. Sama sekali tidak menoleh. Dia terus ngeloyor ke utara, lantas berhenti tidak jauh dari pintu masuk Makam Mbah Bungkul. Duduk di sana, diam. Sekali-kali bibirnya komat-kamit tidak jelas. Mata Lina langsung tertuju ke peminta-minta tadi. Tajam. Tapi, yang dipandang pura-pura tidak mengetahui ada yang memerhatikan. Dia bahkan lebih menunduk. Tak lama kemudian Lina jongkok di depan peminta-minta tadi dan membisikkan sesuatu. Hanya sekitar dua-tiga menit, Lina berdiri dan kembali menuju mobil. Peminta-minta tadi mengikuti. Di dalam mobil, Lina langsung pecah tangisnya. Pengemis tadi ditampar sangat keras, dikerawus, dan kepalanya dibentur-benturkan ke sandaran sopir. “Kita pulang dan ceraikan aku secepatnya,” teriak Lina. Peminta-minta itu hanya diam, kemudian ngeloyor pergi tanpa menolah lagi. Suaranya parau. “Maafkan aku Lin.” (jos, habis)

Sumber: