Kau Masih Gadis atau Sudah Janda? (3)
Takut Mahkota Expired
Awanya Endah menuruti nasihat orang tua mengajak Ba’i ke dokter. Dia berharap sang suami berubah jadi lelaki sejati. Suami sejati. Ternyata gagal. Ada pengalaman menarik pada usaha Endah membantu Ba’i agar bisa berubah normal. Hampir seluruh malam dihabiskan Endah untuk membangkitkan gairah Ba’i. Semua usaha dilakukan, mulai yang tradisional dengan menjadikan senjata Ba’i sebagai es krim hingga semimodern dengan memutar video salah satu sesi pada pemilihan ratu kecantikan sejagat: parade lingerie. Endah juga sudah mengutak-atik senjata Ba’i dengan berbagai cara. Tapi, apa hasilnya? Tetap nihil. Senjata Ba’i selalu menunduk di depan sang istri. Seperti tentara kalah perang, diseret ke sana-kemari tanpa daya. Sampai akhirnya Endah putus asa. Dia lelah dan tertidur pulas di samping Ba’i. Entah berapa lama sejak terlelap, tiba-tiba Endah terbangun karena merasa ada sesuatu yang bergerak-gerak di punggungnya. Saat Endah beringsut, dia sekilas melihat Ba’i menarik tangan dia yang tertimpa tubuhnya. Yang lebih mengejutkan, Endah menyaksikan senjata Ba’i berdiri tegak seperti tiang bendera. Secara bersamaan Endah melirik layar televisi. Di sana tampak seorang atlet loncat indah sedang beraksi. Diputar berulang-ulang. Sesekali diputar slow motion untuk menujukkan indahnya saat tubuh sang atet pria tersebut ditelan kolam renang. Deg! Itulah yang terasa di dada Endah. Dia berpikir: jangan-jangan senjata Ba’i berdiri tegak karena sedang fokus menyaksikan tubuh atletis si peloncat indah. Kalau itu yang terjadi, artinya sudah terbukti bahwa Ba’i benar-benar terindikasi kuat sebagai penyandang LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Sebelumnya Endah hanya menduga kuat dan khawatir Ba’i seorang LGBT. Walau begitu Endah tidak pernah mengungkapkannya. Dia takut Ba’i bakal tersinggung dan marah-marah dituduh LGBT. Ternyata dugaannya benar. Kekhawatirannya jadi kenyataan. Kalau sudah begini, apa yang harus Endah lakukan? “Endah mengaku bisa menerima kenyataan andai rumah tangganya kekurangan materi. Tapi kalau kekurangan yang ini, dia merasa tidak sanggup menerima,” kata Ikin. Tumpukan harta tidak ada artinya bagi Endah bila anugerah yang satu ini tidak bisa dinikmati. Hidup seolah berlayar di lautan tanpa air, bagai makan tanpa sambal, dan mimpi tanpa tidur. Endah mengaku tidak paham bagaimana pikiran orang tuanya yang meminta dia bersabar tanpa solusi. Seperti slogan pegadaian saja: mengatasi masalah tanpa masalah, tapi barang-barang di rumah ludes. Mbelgedes. (jos, bersambung)Sumber: