AKAR Jember: Usut Pelaku Kekerasan terhadap Jurnalis

AKAR Jember: Usut Pelaku Kekerasan terhadap Jurnalis

JEMBER - Puluhan wartawan Jember yang menamakan dirinya Aksi untuk Keselamatan Wartawan (AKAR) Jember gelar aksi solidaritas, Jumat (27/9). Ini menyikapi kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi sepanjang pekan ini.

AKAR Jember beranggotakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jember, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Tapal Kuda, Forum Wartawan Lintas Media (FWLM) Jember, dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jember.

Aksi damai yang diawali dari Jalan PB Sudirman 45 dari base camp IJTI dan FWLM long march menuju tengah Alun-Alun Kota Jember, dengan membawa berbagai poster bertuliskan sindiran dan kecaman, dan  berorasi.

Korlap Aksi FWLM Jember Ihya Ulumiddin menerangkan, Adanya demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah disambut aksi represi aparat kepolisian. Beragam kekerasan dilakukan untuk menghalau dan memukul mundur para aktivis yang menyuarakan beragam tuntutan.

"Rupanya, sikap represi polisi tak berhenti pada demonstran saja, tapi juga menyasar jurnalis yang sedang bekerja. Aparat tak hanya menghalang-halangi kerja jurnalistik, tapi juga merampas bahkan melakukan kekerasan. Sejumlah jurnalis di berbagai daerah dilaporkan terluka dalam peristiwa tersebut," kata  Ihya Ulumiddin. Jum'at (27/9)

Mahfudz Sunardjie, anggota IJTI Tapal Kuda, menyampaikan laporan sementara yang diterima, ada tiga daerah yang terjadi kekerasan dan menimpa jurnalis. Di antaranya, di Jakarta, Makassar, dan Jayapura. Korban yang tercatat ada 10 jurnalis dari 10 media berbeda. Bentuk kekerasan yang diterima juga bermacam-macam.

Ada yang diintimidasi, dirampas alat kerja, hingga mendapat kekerasan fisik. Bahkan, jurnalis pendiri Watchdog Dandhy Dwi Laksono ditangkap dan disangka menyebarkan kebencian. Dhandy dijerat pasal karet UU ITE.

Ananda Badudu, penggalang dana untuk membantu mahasiswa yang menggelar aksi di Jakarta juga ditangkap polisi. Tindakan ini sudah jelas melanggar hak berekpresi dan menyampaikan pendapat warga yang dijamin undang-undang. Pemerintah terkesan antikritik, sehingga menggunakan alat negara untuk membungkam warganya.

Di sisi lain, kekerasan yang dilakukan polisi dan massa terhadap jurnalis juga merupakan tindakan pidana sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 tentang Pers, Pasal 18 Ayat 1 disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta.

Padahal, setiap jurnalis memiliki hak untuk mencari, menerima, mengelola, dan menyampaikan informasi sebagaimana dijamin secara tegas dalam Pasal 4 ayat (3) UU RI No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Khususnya terkait peliputan yang menyangkut kepentingan umum sebagai bentuk kontrol publik.

Menyikapi kekerasan terhadap jurnalis ini, AKAR Jember menyatakan sikap, mendesak kepolisian mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggotanya dan massa aksi di berbagai daerah. Dan  mendesak kepolisian menghentikan segala bentuk represi yang mengancam kerja jurnalis, serta mendukung kebebasan berpendapat dan berkespresi yang dilakukan masyarakat.

Menuntut kepolisian menghukum anggotanya yang terlibat kekerasan kepada jurnalis. Dan penanganan kasusnya dibuka untuk publik. Serta Menuntut kepolisian melucuti senjata para anggotanya yang bertugas menghalau massa. Dan menghentikan semua upaya sweeping kepada peserta aksi maupun jurnalis yang sedang bertugas.

Selain itu menuntut kepolisian membebaskan Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu dari sangkaan pasal karet UU ITE, dan menuntut kepolisian menghentikan penangkapan-penangkapan aktivis yang melakukan kritik dan menyuarakan kepentingan publik.

Tuntaskan reformasi di tubuh Polri, Mengimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan terhadap jurnalis saat sedang meliput. Jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi UU Pers.

Mengimbau perusahaan media untuk memberikan alat pelindung diri kepada jurnalis mereka yang meliput aksi massa yang berpotensi terjadi kericuhan, dan mendesak Dewan Pers membentuk satgas antikekerasan guna menuntaskan kasus kekerasan yang terjadi sepanjang aksi penolakan RKUHP dan Revisi UU KPK di berbagai daerah. (edy/udi)

Sumber: