Aksi Nyata MBKM, Dosen UWG Bantu Produksi Umbi Gadung

Aksi Nyata MBKM, Dosen UWG Bantu Produksi Umbi Gadung

Malang, memorandum.co.id - Sebagai aksi nyata kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), para dosen Universitas Widyagama (UWG) Malang melakukan pengabdian masyarakat di Dusun Ngingas, Kecamatan Campur Darat, Kabupaten Tulungagung. Di lokasi tersebut, masyarakatnya banyak memproduksi umbi gadung yang diolah menjadi keripik untuk meningkatkan penghasilan. Namun demikian, dalam proses produksinya masih dilakukan secara manual dan tradisional. Para dosen UWG itu, Dra Wahju Wulandari MM, Sodik, dan Dharmayanti Pri Handini. Melalui program penelitian kebijakan MBKM dan pengabdian masyarakat. Tentunya, berbasis penelitian dan purwarupa PTS tahun 2021. “Di Dusun Ngingas ini sebagian besar masyarakat berpendapatan dengan memproduksi umbi gadung. Namun, menggunakan peralatan yang cukup tradisional sehingga bisa dibilang kurang bisa maksimal baik kualitas produksi maupun penghasilan,” terang salah satu tim dosen, Dra Wahju Wulandari MM. Untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat sekaligus menambah produktifitas, ia bersama tim memberikan mesin pengiris sehingga hasil irisan gadung menjadi standar. Selain itu, mesin pengering untuk mengurangi gadung yang berjamur. “Melalui pelatihan manajemen usaha dan pembukuan sederhana, dapat membantu usaha UKM warga Dusun Ngingas, lebih baik. Salah satunya, milik Eni Sulistyowati. Menjadikan produk hasil olahannya, lebih bermutu,” lanjutnya. Dijelaskan, dengan pendampingan yang dilakukan bersama tim, penghasilan masyarakat Ngingas lebih meningkat. Masyarakat Ngingas mendapatkan bahan baku dari daerah pegunungan di gunung Budeg. Keunggulan keripik gadung Dusun Ngingas, jika digoreng rasanya enak, gurih, renyah, dan empuk. Untuk memproduksi keripik gadung ada sebuah keunikan tersendiri karena umbi gadung itu beracun. Sehingga, jika tidak benar dalam proses produksinya bisa mengakibatkan orang yang memakan keracunan. Proses produksi dimulai dari pengupasan umbi gadung. Dilanjutkan dengan perajangan. Kemudian, irisan gadung dilumuri dengan abu kayu bakar bekas masak. Tahap selanjutnya, dijemur sekitar satu hari. Namun, di musim penghujan, proses pengeringan tidak bisa maksimal. Bahkan, bisa menyebabkan abu menjadi berjamur dan tidak bisa diolah. Setelah kering, gadung lumuran abu dicuci dan dikeringkan. Tahap selanjutnya adalah penggorengan dengan minyak. “Namun, karena semuanya masih manual, membutuhkan waktu lama dan hasil kurang standar. Maka, kami memberikan sarana teknologi untuk meningkatkan kualitas hasil dan produksi. Semoga, bisa memberikan kemanfaatan bagi masyarakat Ngingas dan sekitarnya,” jelas Dosen UWG ini. (edr/fer)

Sumber: