Kasus Jembatan Bambu Mangrove Wonorejo, LKKP: Kurang Pengawasan Pemkot

Kasus Jembatan Bambu Mangrove Wonorejo, LKKP: Kurang Pengawasan Pemkot

Surabaya, memorandum.co.id - Permasalahan mangkraknya jembatan bambu Wisata Mangrove Wonorejo juga mendapat sorotan Lembaga Kajian Kebijakan Publik (LKKP). Menurut Direktur LKKP Vinsensius Awey, bahwa tingkat pengawasan yang kurang dari pihak Pemkot Surabaya yang menyebabkan pembangunan jembatan yang menggunakan sumber dana dari APBD ini ala kadarnya. “Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada pemkot. Jembatan Mangrove Wonorejo sudah jelas bahwa itu sumber dana APBD, namun yang baru terbangun 300 meter dan tidak layak terpakai, apalagi ditambah panjang 450 meter lagi yang cukup disayangkan,” ujar Awey, Minggu (21/11/2021). Tambah Awey, disebut alah kadarnya adalah mungkin tidak memperhitungkan kondisi di lapangan, tanah di situ kan tanah bergerak, dilewati air, pondasi yang ada apa sudah mumpuni untuk menahan lajunya air. Lalu konstruksi pondasi yang ada apa cukup memperhitungkan gerak tanah di lokasi. “Kalau kemudian mereka membangunnya kalau sama seperti di tanah yang tidak bergerak, di lokasi yang tidak dilalui oleh air, maka itu akan tidak menjadi masalah. Tapi hitung-hitungnya sipilnya salah dan pengawasannya adalah kurang, maka rakyat juga yang dirugikan,” jelasnya. Tujuan pembangunan itu bagus, dan pihaknya tidak menyalahkan tujuan dari pembangunan jembatan Mangrove Wonorejo ini, apalagi berada di ekowisata hutan mangrove. “Membangun konstruksi besi, maka dari sisi estetikanya kurang masuk maka digunakannya bambu-bambu tersebut. Bambu-bambu itu menurut saya cukup unik, dan eksotik. Itu kalau bahasa anak muda itu instagramable, bagus dan menarik serta menyatu dengan alam,” tegas Awey. Lanjutnya, orang-orang yang menang lelang punya pengalaman, kenapa bisa terjadi seperti itu. Kita tidak bisa menyalahkan faktor alam. Misalnya badai, banjir bandang, dan lain sebagainya. “Artinya perancangan konstruksi ini tidak sesuai dengan di lapangan. Bisa juga karena faktor kelalaian, faktor perhitungan yang tidak tepat (disengaja atau mencuri spesifikasi). Saya tidak tahu,” tambahnya. Tambah Awey, mereka (kontraktor) pastinya mempunyai konsultan perencanaan, dan ini harus banyak terlibat. Bagaimana di awal ketika rancangan itu diberikan sesuai apa tidak. Katakan sudah sesuai dan tepat dan memperhitungan alam setempat, ketika pengerjaan apa sungguh-sungguh diawasi, apakah sesuai dengan perencanaan di awal atau ada pengurangan spek. “Kalau itu dilakukan dinas terkait maka harus menurunkan tim pengawasannya. Karena waktu itu kondisi jauh sebelumnya, dan harus dilihat apakah ini memang ini proyek DKPP. Pembanguan ini di- charge cipta karya atau PU. Apakah ada koordinasi,” ujarnya. Awey melihat, bisa saja pengajuan perencanaan itu sudah benar hanya pelaksanaan di lapangan mungkin tidak sesuai. Atau bisa juga dari perencanaan di awal itu sudah salah. Karena mungkin hitungan normatif dan tidak memperhitungkan di lapangan. “Unsur tanah bergerak, ada debit air tanah bergerak sepeti apa, kalau air mengalir biasa tanah seperti apa, ada deras air bagaimana dan debit airnya. Apakah Itu sudah dihitung semuanya. Saya menduga itu tidak dihitung dengan baik dan ada pencurian spek. Maka ini harus turun tim pemeriksaan di situ,” jelasnya. Namun, kalau ada dugaan spesifikasi, pemkot bisa pengaduan dan meminta pertanggungjawaban kontraktor. “Kontraktor tidak bisa mempertanggungjawabkannya maka bisa dilaporkan ke pihak berwenang. Siapa yang melaporkan?pemkot dong, masak masyarakat,” ujarnya. Lanjut Awey, bisa juga setelah serah terima dan ketahanan teruji, pihak kontraktor bisa dimintai pertanggungjawaban. “Bisa, kan ada masa waktu pertanggungjawaban untuk perawatan,” ujarnya. Disinggung apakah kejaksaan harus turun, Awey mengatakan maka dilakukan pelaporan. Bisa juga masyarakat. “Jika mengakibatkan ada kecelakaan , warga bisa melaporkan. Kalau pun tidak ada kecelakaan, warga bisa menuntut karena ini dana APBD, dana rakyat, maka bisa meminta pertanggungjawaban,” ujar Awey. Awey menegaskan, bahwa lebih baik pemkot sendiri yang melaporkan untuk meminta pertanggungjawaban kontraktor. “Semestinya yang punya inisiasi adalah pemkot, ketika dimintai pertangungjawaban (kontraktor) yang tidak baik kan bisa dilaporkan. Karena pemkot yang dirugikan,” jelasnya. Disinggung dalam pembangunan jembatan bambu itu tidak ada kerugian, Awey menegaskan bahwa wali kota harus menyampaikannya kepada publik secara transparansi. “Sehingga publik tidak menduga-duga ada apa itu semua. Karena publik juga berhak mengetahui secara transparan terhadap jembatan Wonorejo yang roboh dan dari sumber APBD. Publik berhak tahu,” jelasnya. Itulah kelihaian dan kepiawaian wali kota bagaimana melakukan komunikasi yang baik dengan publik sehingga publik tidak berpikiran yang kurang baik dan harus trnasprasi. “Kalau sudah tidak ada kerugian dan sudah dikembalikan kenapa hanya pengembalian di termin ketiga ini, bagaimana dengan kedua dan kesatu karean itu satu kesatuan. Tapi dari akibat yang ketiga (termin), karya hasil pertama dan kedua berimbas dan ini juga harus disampaikan kepada publik dengan baik. Yang terpenting kalau direkontstruksi kapan, kalau tidak ya dibongkar karena merusak mata sekian lama. Apakah pakai APBD lagi,” pungkas Awey. (fer/udi)

Sumber: