Bermain Api Terbakar (4-habis)

Bermain Api Terbakar (4-habis)

Suami Derita Varicocele

Ternyata reuni tipis-tipis di Sarangan tidak berakhir tipis-tipis. Buntutnya sangat panjang. Reuni yang hanya berdua itu menyebabkan Santi hamil.   Santi kelabakan. Ketika fakta ini disampaikan kepada Budi, lelaki yang berpembawaan pendiam tersebut tidak tampak terkejut. Wajahnya biasa-biasa saja. Datar. Bahkan seperti menahan senyum. Santi makin kelabakan. “Kamu kan punya suami. Masa punya suami takut hamil?” goda Budi seperti diulang Santi. Santi tidak berkutik di hadapan Budi. Hanya, di dalam hati dia berpikir: bisa saja Hendro bakal curiga. Sebab, setelah sekian lama tidak hamil, ujug-ujug kok hamil. Padahal intensitas hubungan mereka semakin berkurang. Santi pusing memikirkan ini. Meski begitu, dia berusaha bersikap wajar di depan Hendro. Suatu saat dia mengabarkan kehamilannya dengan (pura-pura) sukacita kepada Hendro. Tapi seperti ditakutkan Santi, bukannya bahagia mendapat kabar kehamilan istri, Hendro malah memasang wajah tegang. “Dengan siapa kamu hamil?” pertanyaan yang paling ditakutkan Santi meluncur dari bibir Hendro. “Ya tentu saja denganmu. Siapa lagi?” balas Santi. “Tidak mungkin,” tegas Hendro. “Aku tidak akan selingkuh seperti kamu selingkuh dengan Welas. Iya kan?”  kata Santi balik menyerang Hendro. Lelaki yang sejatinya lebih cakep dari Budi ini tidak membalas. Dia cuma menunjukkan berkas yang diambil dari laci meja kerjanya di rumah. “Ini dari dokter. Baca,” kata Hendro sambil memberikan beberapa lembar kertas kepada Santi. Dengan tangan gemetar Santi menerima dan membacanya. Ternyata hasil lab, yang menunjukkan bahwa Hendro seorang lelaki yang menderita gangguan infertilitas. Hendro mengalami varises pada organ kemaluan yang biasa disebut varicocele. Dalam berkas tersebut dijelaskan bahwa varicocele adalah pembengkakan pembuluh darah vena pada skrotum yang mengganggu aliran darah dan pertumbuhan sperma. Membaca itu, pelan-pelan mata Santi berkunang-kunang. “Dengan siapa kamu hamil?” ulang Hendro. Kali ini lebih tegas dari yang pertama. Santi tidak mampu bersuara. Dia hanya merasakan tubuhnya lemas. Lemas. Lemas. Dan akhirnya tidak ingat apa-apa. Ketika bangun, Santi sudah berada di tempat tidur sebuah rumah sakit. Hanya ada ibu dan ayahnya di sana. Hendro tidak ada. Apalagi ayah dan ibu mertua. “Yang sabar ya Nak,” Santi mendengar suara ibunya. Parau dan bergetar. Ayahnya yang selama ini selalu melindungi mengelus-elus punggungnya. Lembut dan penuh kasih. “Maafkan Santi, Ayah… Ibu,” kata Santi. Menurut pengacara yang membantu perceraiannya, hari itu Santi tak lagi pulang ke rumah Hendro, melainkan pulang ke rumah orang tua sendiri di Surabaya. Dua minggu kemudian datanglah surat panggilan sidang dari PA Surabaya. “Bagaimana cerita Santi dengan mantannya? Masih lanjut? ” tanya Memorandum ke pengacara  tadi. Dijelaskan bahwa Santi beberapa kali menghubungi tapi nomor HP-nya tidak aktif. “Mungkin dia tidak ingin keluarganya terganggu,” katanya. “Boleh minta nomor HP atau WA Santi?” tanya Memorandum agak kepo. “Kalau ada yang kurang jelas, tanyakan saja kepadaku. Oke?” kata pengacara tadi. Tegas. (jos, habis)  

Sumber: