Tak Mengenal Cangkrukan, Apalagi Gedung Bioskop

Tak Mengenal Cangkrukan, Apalagi Gedung Bioskop

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Memorandum dapat kejutan. Dikirimi email seorang perempuan yang mengaku warga Maluku. Namanya sebut saja Akiari. Mulanya dia amat antipati terhadap pemuda lulusan pondok pesantren. Namun, apa yang kemudian terjadi? Simak tulisannya. Pada 2005 lalu  aku dipaksa orang tuaku menikah dengan seorang pria, Kak Erfan (sebut saja begitu, red). Kak Erfan adalah seorang lelaki yang tinggal sekampung denganku, tapi dia seangkatan dengan kakakku saat sekolah dulu. Usia kami terpaut lima Tahun. Yang aku tahu, sejak kecil Kak Erfan adalah anak yang taat kepada orang tuanya dan rajin ibadah. Tabiatnya yang seperti itu terbawa-bawa sampai dewasa. Aku merasa risih sendiri dengan Kak Erfan bila berpapasan di jalan, sebab sopan santunya sepertinya berlebihan. Kepada siapa pun. Aku sampai geli menyaksikan ulahnya. Kampungan banget. Setiap ada acara ramai-ramai di kampung, Kak Erfan selalu tidak pernah kelihatan bergabung sama teman-teman seusianya. Kalau dicek ke rumahnya pun pasti gak ada. Orang tuanya pasti menjawab, “Kak Erfan di mesjid Nak, menghadiri taklim.” Memang mudah sekali mencari Kak Erfan sejak lulus dari Pesantren Al-Khairat Kota Gorontalo. Cari saja di masjid, pasti ketemu. Kak Erfan sering membantu orang tuanya berdagang. Kadang terlihat bersama bapaknya di kebun atau di sawah. Inilah yang kadang disayangkan sebagian teman sebayanya. Ia dianggap tidak memanfaatkan potensi dan kelebihan-kelebihan diri. Secara fisik Kak Erfan memang hampir tidak sepadan dengan ukuran ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Gadis-gadis kampung suka menggodanya kalau Kak Erfan dalam keadaan rapi menghadiri acara-acara di desa. Tapi bagiku, itu adalah hal yang biasa-biasa saja, sebab aku sendiri merasa bahwa Kak Erfan adalah sosok yang tidak istimewa. Apa istimewanya menghadiri taklim, kuper, dan kampunga banget. Kadang hatiku sendiri bertanya, “Kok bisa yah ada orang bersekolah di kota namun begitu kembali tidak ada sedikit pun melekat ciri-ciri kekotaan pada dirinya.” HP gak ada. Selain membantu orang tua, kerjanya hanya ngaji, salat, taklim, dan kembali bantu orang tua. Gitu muter-muter aja. Seolah ruang lingkup hidupnya hanya monoton pada itu-itu saja. Ke bioskop kek, cangkruk bareng teman-teman kek. Kan setiap malam Minggu di pertigaan kampung ramainya luar biasa. Ada acara curhat kisah yang disiarkan sebuah stasiun radio swasta di Gotontalo. Waktu terus bergulir, dan seperti gadis-gadis modern pada umumnya yang tidak lepas dengan kata pacaran, aku pun demikian. Aku memiliki kekasih yang begitu sangat aku cintai, namanya Andi. Masa-masa indah kulewati bersama Andi. Indah kurasakan dunia remajaku saat itu. Kedua orang tua Andi sangat menyayangi aku, dan sepertinya memiliki sinyal-sinyal restunya atas hubungan kami. Hingga musibah itu tiba! Aku dilamar seorang pria yang sudah sangat aku kenal. Namanya Erfan. Orang tuanya melamarku untuk anaknya yang kampungan itu. Hiii… Aku bayangkan hidupku hanya akan berkutat di rumah dan di masjid. Itu saja. Oh… betapa sempit masa depan duniaku. (bersambung)  

Sumber: