Sopir Angkot Itu Kini Asisten Pribadi Pemilik Perusahaan

Sopir Angkot Itu Kini Asisten Pribadi Pemilik Perusahaan

Yuli Setyo Budi, Surabaya Mala (30, bukan nama sebenarnya) seharusnya bersyukur. Sebab, perekonomian keluarganya meningkat tajam dalam dua tahun ini. Tapi faktanya tidak demikian. Mala justru bersedih. Hidupnya jadi tidak tenang. Mengapa? Mala sangat bahagia ketika dipersunting Supri (33, samaran) delapan tahun lalu. Meski hanya berprosesi sebagai sopir angkot, Supri dinilai Mala sebagai lelaki jujur dan pekerja keras. Mala sendiri menjaga toko tetangga di kawasan Wonokromo. Mereka hidup sederhana dan harmonis. Kehadiran Ervan (3, bukan nama sebenarnya) semakin menambah kebahagiaan pasangan ini. Perubahan ekonomi keluarga Mala vs Supri mulai terasa empat tahun silam. Sejak Supri mendapat pekerjaan baru sebagai sopir pribadi keluarga pengusaha pakan ternak, sebut saja Handoko vs Suwanti. Kejujuran Supri mendapat tempat di hati juragannya yang tinggal di perbatasan Surabaya-Sidoarjo itu. Selain gaji bulanan, Supri tak jarang memperolah tips untuk pekerjaan-pekerjaan di luar tanggung jawabnya. Renes. Dompet Supri tidak pernah kosong seperti tatkala dia menjadi sopir angkot. Masa itu dirasakan Supri sebagai masa-masa perjuangan. Setiap bulan bisa dipastikan Supri terpaksa harus berutang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Dan, utang itu semakin membesar dari waktu ke waktu. Supri sampai terpaksa harus menerapkan jurus gali lubang tutup lubang agar dapurnya tetap bisa berasap.  Eloknya, hal ini tidak pernah dikeluhkan Supri kepada istrinya. Supri tidak ingin kesengsaraan ini diketahui Mala. Ia ingin Mala selalu tersenyum. Supri mendapat kesempatan menjadi sopir pribadi keluarga Handoko vs Suwanti dari pemilik angkot. Juragannya tersebut diberi tahu anaknya yang bekerja di perusahaan Handoko bahwa sopir bosnya meninggal mendadak terkena serangan jantung. Sejak itulah kondisi ekonomi keluarga Supri vs Mala tidak pernah lagi terkendala. Sudah tidak ada lagi utang dengan jurus gali lubang tutup lubang. Sudah tadak ada lagi kesengsaraan yang harus dipendam Supri. Kehidupan keluarga ini mengalir lancar bagai aliran sungai di pegunungan. Paling-paling kendalanya hanya berupa bebatuan, yang bisa disibak dengan derasnya arus air. Kendala itu bukan lagi berupa sampah-sampah kotor seperti di perkotaan, yang selalu menimbulkan bau tak sedap di sekitarnya. Ibarat kehidupan Supri ketika menjadi sopir angkot dan harus utang sana-utang sini. Sudah tak terhitung berapa kali Supri ditekan dan diancam-ancam oleh pemilik uang. Perekonomian Supri semakin membaik lagi setelah Handoko meninggal karena kecelakaan di Jakarta. Kali ini bahkan sangat tajam. Sebab, Supri tidak hanya dipercaya sebagai sopir pribadi. Dia juga dipercaya sebagai asisten pribadi Suwanti. Supri yang sering berdiskusi dengan mendiang Handoko memang banyak memberi masukan kepada Suwanti, yang kini menduduki posisi puncak di peruhaan keluarga. Selaras dengan posisi dan tanggung jawabnya, kesibukan Supri juga semakin padat. Dia semakin jarang pulang karena harus mengikuti ke mana pun Suwanti pergi untuk urusan pekerjaan. Tidak jarang Supri terpaksa haru nginthil Suwanti berhari-hari di Jakarta dan di kota-kota lain. “Cak Pri orangnya sangat jujur. Karena itulah sebenarnya aku berat untuk pisah darinya,” kata Mala lirih. Kalimat itu disampaikan Mala kepada teman kerjanya, sebut saja Ninik, yang lantas meneruskannya kepada Memorandum. Kebetulan Ninik adalah tetangga Memorandum. Kenapa harus berpisah? Apa yang sebenarnya terjadi? (bersambung)  

Sumber: