Cinta di Simpang Keimanan (1)

Cinta di Simpang Keimanan (1)

Agama hanya untuk Nikah

Ara (samaran) sangat mencintai suaminya, sebut saja Anton. Selain ganteng dan lembut, Anton murah hati, suka menolong, dan sangat setia. Sayang, semua kebaikan itu menjadi tiada berarti karena Anton terpaksa harus Ara tinggalkan. Ada lelaki yang lebih berhak dia cintai dibandingkan Anton. Dan, ini baru dia sadari setelah mendengarkan tausiyah sebuah di majelis taklim. “Saya akhirnya memutuskan menggugat cerai,” kata Ara di kantor pengacara di sekitar Pengadilan Agama (PA) Surabaya, beberapa waktu lalu. Waktu itu sang ustaz, sebut saja Azis, menjelaskan bahwa wanita muslimah tidak boleh menikah dengan lelaki nonmuslim. Hukumnya haram. Di sesi tanya jawab, Ara mengacungkan jari. Dia bertanya apakah dirinya termasuk ke dalam golongan ini? Ara lantas berkisah bahwa dia dan suaminya dulu menikah secara Islam. “Sebelumnya suami saya pengikut Nasrani yang taat. Tapi sebelum akad nikah, dia dituntun mengucapkan dua kalimat syahadad oleh Pak Penghulu,” kata Ara. Masalahnya, selepas akad nikah, Anton tak pernah sekali pun menjalankan ibadah sebagai muslim. Tidak pernah salat, walau juga tidak lagi ke gereja seperti sebelum menikah. Berbagai cara dilakukan agar suaminya mau salat. Namun, Anton selalu menolak dengan alasan bahwa dia dulu mengucapkan dua kalimat syahadad karena terpaksa agar bisa menikah dengan Ara. “Yang penting aku mencintaimu,” begitu alasan Anton seperti diungkapkan Ara. Sejak itu pasangan ini tidak lagi mempermasalahkan perbedaan agama di antara mereka. Agamamu agamamu, agamaku agamaku. Walau begitu, didorong ganjalan di hati, suatu saat Ara pernah mempertanyanyakannya ke seorang teman. Jawaban teman waktu itu, Ara diminta mendoakan sang suami agar suatu ketika dilimpahi hidayah. “Namun, bertahun-tahun lewat, hidayah itu tidak pernah datang,” keluh Ara. Diam-diam kabarnya Anton malah kembali aktif beraktivitas ke gereja. Semula Ara tidak percaya. Apalagi, setiap ditanya, Anton juga tidak mengakui tuduhan itu. “Dia sampai bersumpah di depan saya,” kata Ara. Hingga suatu saat Ara memergoki sendiri Anton keluar dari halaman gereja di jalan yang dia lewati sepulang berbelanja di pasar. Waktu itu Anton berjalan bersama saudara-saudaranya. Namun, lelaki tersebut masih tidak mau mengakui tuduhan Ara kalau kembali aktif ke gereja. Meskipun Ara menjelaskan bahwa dia melihat dengan mata kepala sendiri Anton bersama saudara-saudaranya keluar dari halaman gereja. Anton beralibi bahwa waktu itu dia kebetulan lewat jalan depan gereja sepulang menghadiri undangan rapat di kantor. “Paginya Mas Anton memang sempat pamit ke kantor karena ada rapat koordinasi kantor cabang se-Jatim,” kata Ara. Ternyata kejadian serupa tidak terjadi hanya dua-tiga kali. Melainkan berkali-kali. Tapi, berkali-kali pula Anton mengelak dan meyakinkan Ara bahwa dia tidak akan berbohong. (jos, bersambung)

Sumber: