Heran Kesabaran

Heran Kesabaran

Oleh: Dahlan Iskan Pada heran: mengapa Tiongkok begitu sabar? Tetap membiarkan demo di Hongkong berlarut-larut? Pun setelah melebihi 70 hari --rekor demo terlama di Hongkong yang terjadi tahun 2014 itu. Pun setelah demo merambah ke soal kedaulatan negara: mencorat-coret lambang negara, menduduki dan merusak gedung parlemen, menyerang kantor polisi, membuang bendera negara ke laut dan disusupi pula seruan Hongkong merdeka. Pada heran. (Penggunaan kalimat ‘pada heran’ itu salah menurut kaidah bahasa Indonesia. Itu hanya terjemahan bahasa Jawa: pada nggumun. Tapi tolong carikan gantinya yang maknanya pas). Saya juga heran. Kirain Tiongkok akhirnya turun tangan. Seperti saat peristiwa Tian An Men pada 1980-an. Ketika pendemo digilas. Yang luka politiknya tidak sembuh sampai sekarang. Padahal dalam konstitusi Hongkong memungkinkan untuk itu. Pemerintah Hongkong bisa saja minta bantuan pusat. Yang juga heran: tidak satu pun pendemo yang meninggal. Padahal serangan untuk polisi begitu jelasnya. Apalagi hinaan. Bully. Pun untuk keluarga mereka. Kesannya, polisi sudah menjadi lawan rakyat. Tiongkok rupanya tahu persis: begitu ada yang tewas celakalah. Bisa jadi martir. Akibatnya gerakan berikutnya bisa lebih besar. Lebih luas. Apalagi kalau yang tewas itu wanita. Atau mahasiswa. Minggu sore lalu ada ‘kecelakaan’. Sebuah tembakan peluru lunak mengenai mata kanan seorang pendemo. Wanita. Geger. Demo yang sudah agak reda membesar lagi. Ada momentum baru. Bahkan menduduki bandara internasional Hongkong --salah satu yang tersibuk di dunia. Melumpuhkannya. Memang tidak sampai 1 juta orang. Bahkan ‘hanya’ ribuan. Tapi empat hari beruntun. Bukan main. Polisi tetap saja sabar. Hari kelima kemarin demo di bandara tetap diizinkan. Kali ini lokasinya yang dibatasi. Hanya di dua lokasi: terminal kedatangan kanan dan kiri. Tidak lagi mengganggu yang mau check-in. Pemerintah Hongkong juga sabar. Pun pemerintah pusat. Dalam konstitusi Hongkong hak bersuara dan demo memang dijamin. Pendemo pun begitu pintar. Mereka belajar banyak dari demo-demo masa lalu --yang sudah seperti makan harian di Hongkong. Tiongkok juga belajar dari masa lalu. Juga harus lebih pintar dari pendemo. Tiongkok berhitung. Isu demo kali ini tidak terlalu kuat: soal ekstradisi itu. Rasa keadilan orang Hongkong sendiri mengatakan: tidak mau, tidak mau, tidak mau. Kalau Hongkong jadi surga kejahatan. Menjadi tempat persembunyian pembunuh, koruptor, dan pelanggar hukum. Yang selama ini tidak bisa diekstradisi ke negara asal. Pendemo hanya tidak setuju karena dua hal: jangan sampai perkara politik pun akan diekstradisi. Dan di Tiongkok tidak akan mendapat perlakuan hukum yang fair dan adil. Itu benar. Juga ada salahnya. Seolah ekstradisi itu hanya ke daratan. Dan seolah pasti begitu. Padahal negara lain juga berkepentingan. Pembunuh pacar di Taiwan tidak bisa diekstradisi. Sampai sekarang. (Lihat DI's Way: Demo Hamil). Malaysia juga berkepentingan dalam kasus perburuan Jho Low. Yang jadi dalang korupsi terbesar di dunia itu (Lihat DI's Way:Rosma Setelah Tinggalkan Penyiar TV). Indonesia mestinya juga berkepentingan karena.... saya lupa.(*)  

Sumber: