Cinta Penyandang Disabilitas (3-habis)

Cinta Penyandang Disabilitas (3-habis)

Dilamar Yuni Sendiri

Dipandang sebelah mata para gadis menjadikan Budi minder. dKarena itu, dia tidak mau memikirkan mereka. Kenyataan ini sama dengan yang dia bayangkan. Fakta bahwa tidak satu pun gadis bersedia menjadi pendamping sebenarnya amat wajar. Mereka pasti takut tidak bisa mendapatkan kebahagiaan. Mereka juga khawatir memiliki keturunan yang cacat seperti Budi. Semasa SMA dan kuliah, sebenarnya Budi sempat pe-de mendekati beberapa gadis. Tapi, kebanyakan mereka hanya menilai Budi sebagai teman. Beberapa pengalaman serupa akhirnya menjadikannya sadar bahwa gadis-gadis itu ingin dekat semata untuk memanfaatkannya. Jadi, kalau Budi sampai trauma terhadap perempuan hingga menjadi jomblo kasep adalah suatu yang wajar. “Budi jangan putus asa dengan rahmat Allah,” itulah yang selalu diingatkan Yuni, tapi Budi hanya menangapi dengan senyum. Budi semakin sibuk dengan pekerjaannya. Ini berdampak sangat positif terhadap perkembangan bisnis Yuni. Peningkatan omzetnya tidak hanya puluhan persen, melainkan bisa ratusan. “Etos kerjamu tidak jauh berbeda dengan bapakmu,” puji Yuni. “Kok Tante mengenal almarhum Bapak seperti amat dekat. Padahal Almarhum dan Tante tinggal berjauhan?” “Kami dulu sangat dekat semasa SMA dan kuliah. Kami bekerja sama membantu membesarkan perusahaan almarhum Ayah. Sekolah dan kuliah sambil bekerja. Karena itulah Tante tahu betul siapa Almarhum.” Mereka berencana menikah. Tapi, Lai tidak bisa menolak saat dijodohkan. Ayah Lai dan besannya adalah teman seperjuangan dalam perang kemerdekaan dulu. Mereka sama-sama berutang nyawa. Setelah perang selesai, mereka mengikat janji akan besanan apabila ayah Lai memiliki anak lelaki dan temannya memiliki anak perempuan atau sebaliknya. Klop. Sesuai janji. Ayah Lai memiliki anak lelaki, sedangkan temannya memiliki anak perempuan. Beberapa bulan kemudian Budi dan Yuni tenggelam dalam kesibukan masing-masing dan jarang bertemu walau hidup serumah. Hingga suatu malam, sehari menjelang ulang tahun Budi, Yuni mengetuk pintu kamar Budi. “Ya Tante,” kata Budi setelah membuka pintu. “Boleh Tante masuk?” “Monggo.” Setelah berbasa-basi sejenak, Budi melihat ekspresi Yuni berubah serius. “Ada sesuatu yang penting Tante?” tanya Budi sambil memandang lekat wajah Yuni. Meski usia perempuan itu sepantaran dengan ayah Budi, Yuni terlihat masih muda. Masih kencang. Kecantikan masih melekat di sana. “Tante mau bertanya serius.” “Ya Tante?” “Budi benar-benar tidak mau menikah?” tanya perempuan tersebut. Budi diam, lalu mengambil napas panjang. “Kalau ada yang mau menjadi pendamping Budi? Menjadi istri Budi? Mau?” “Kalau memang perempuan itu pilihan Tante, tentu Budi tidak akan menolak.” “Baiklah,” tutur Yuni sambil menarik napas dalam-dalam. “Aku melamarmu jadi suamiku,” kata Yuni. Tegas. (jos, habis)  

Sumber: