Mahasiswa Dituntut Kritis, Kritik Etis

Mahasiswa Dituntut Kritis, Kritik Etis

Surabaya, memorandum.co.id – Mahasiswa dituntut berpikir kritis dalam menyikapi suatu problematika di era milenial ini. Makna kritis sendiri adalah kritik etis, di mana penyampaian kritik harus sopan dan tidak berbau SARA, serta menggali informasi lebih dalam sebelum melakukan kritik. Karenanya, Fakultas Hukum Universitas Narotama mengadakan talkshow bertema "Mengembangkan Potensi Berpikir Kritis Dengan Cara Berdialektika Di Era Milenial”. Gubernur BEM FH Universitas Narotama, Farrah Miftah mengatakan, pemikiran kritis harus disertai dengan dalih yang akurat, atau biasanya dengan pemahaman literasi terlebih dahulu dalam isu terkait. "Untuk membangun itu tentu tidak mudah, sehingga itulah tujuan dari kegiatan ini. Tak lain adalah untuk mengambangkan potensi sebelum menyatakan sikap dan sebagainya untuk memperhitungkan segi kematangan dalam mengkaji isu tersebut yang dibarengi dengan penyampaian lugas,” tuturnya, Jumat (6/8/2021). Dengan menghadirkan dosen Fakultas Hukum, Miftakhul Huda SH MH sebagai keynote speaker, Farrah menambahkan, talkshow ini diikuti oleh peserta dengan antusias. “Jumlah pesertanya lebih dari 200 orang dan aktif dalam sesi tanya jawab, karena materi yang dipaparkan oleh pak Huda sangat menginspirasi bagi kami,” ujar mahasiswi semester 5 itu. Sementara itu, Miftakhul Huda mengatakan, sumber informasi milenial itu dari internet dan media sosial. Tidak ada yang salah dari sumber tersebut karena memang jaman sudah berubah. Bedanya, dulu sumber informasi seperti koran, televisi, dan radio, lebih mudah dipertanggungjawabkan. “Sedangkan sekarang, sumber informasi tidak mudah dipertanggungjawabkan sehingga kita tidak tahu persis apakah faktanya valid. Kita pun harus lebih berhati-hati dan kritis,” paparnya. Materi dilanjutkan dengan Huda menyampaikan secara detil mengenai cara berpikir kritis dan akibat jika mahasiswa dan kita semua tidak bisa mengaplikasikan proses berpikir kritis. “Beberapa cara berpikir kritis adalah dengan mendalam, tidak hanya di luarnya saja. Kemudian terbuka untuk menerima dan menyaring semua informasi dari berbagai literatur, berpikir luas, berimbang, dan melakukan konfirmasi dengan pendapat lawan,” lanjut Huda. Dan ketika seseorang tidak berpikir kritis, maka akan menimbulkan banyak akibat, antara lain mudah termakan hoax dan menyebarkan hoax, tersesat karena mudah percaya dengan aplikasi peta, terlilit hutang pinjaman online, terjebak investasi bodong, hingga bisa masuk penjara salah satunya karena ikut menyebarkan hoax yang bisa membuat seseorang terkena UU ITE. “Banyak orang ikut-ikutan mengkritik pihak lain, status orang lain, hingga mencemooh. Itu yang harus dihadapi dengan berpikir kritis terlebih dahulu. Jika kita melihat suatu postingan, cobalah telaah lebih dalam. Apabila tidak mengerti konteksnya, tanyakan di kolom komentar. Dari situ kita akan tahu apakah kita berhak mengkritik postingan tersebut. Apakah kita memiliki kepentingan dan pengetahuan yang cukup untuk mengomentari status orang lain,” ulasnya. Akibat lain dari tidak berpikir kritis, ditambahkan Huda, adalah munculnya pertengkaran saudara, koruptor merajalela, kemiskinan meningkat, hingga bisa-bisa nantinya Indonesia akan tinggal nama. “Ini tidak berlebihan. Kemerdekaan Indonesia adalah berkat para pemuda yang berpikir kritis untuk menculik Soekarno dan memaksanya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, ketika Soekarno percaya bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Jika saja pemuda tidak berpikir kritis saat itu, Indonesia mungkin tidak akan merdeka,” pungkasnya. (mg3/gus)

Sumber: