Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Kedua (6)

Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Kedua (6)

Ken Banawa dapat melihat sorot mata penuh keyakinan dari Ki Sentot Tohjaya. Dalam hatinya, Ken Banawa sangat menyayangkan sikap KI Sentot yang teguh pada pendirian untuk menentang Sri Jayanegara. Karena itu, Ken Banawa memutuskan untuk segera menggunakan puncak ilmu yang dimilikinya. “Ki Sentot akan menjadi lawan yang sangat kuat,” katanya dalam hati. Sebaliknya, Ki Sentot juga tidak memandang remeh Ken Banawa yang telah melompat turun dari kuda. Ia menyadari senapati lanjut usia yang menjadi lawannya itu dapat memberinya bahaya dan akibat yang tidak diharapkan. Maka ia melapisi setiap bagian tombaknya dengan tenaga inti yang menjadi puncak ilmunya. Putaran tombak telah menimbulkan pusaran angin yang mengelilingi tubuhnya. Tiba-tiba Ki Sentot menerjang maju dengan dahsyat, Ken Banawa bergeser surut. Serangan tombak Ki Sentot mengalir deras dan tajam. Sepasang kaki Ki Sentot datang membadai dan memang sebenarnya ketinggian ilmu Ki Sentot Tohjaya sukar dicari bandingannya. Serangan demi serangan Ki Sentot Tohjaya mengepung Ken Banawa dari segala penjuru. Pada waktu itu, Ken Banawa dapat segera menilai bahwa lawannya adalah orang yang yakin dan percaya diri dengan kemampuan. Dari setiap ayunan tangan dan kakinya yang menimbulkan angin tajam dan dapat merobek kulit, maka Ken Banawa dapat mengukur ketinggian ilmu Ki Sentot Tohjaya. Tetapi Ken Banawa telah bersiap sehingga dapat mengimbangi kedudukan dan membuat pertahanan yang cukup sulit ditembus oleh Ki Sentot. Maka pertempuran yang terjadi di sekitar perang tanding Ken Banawa dengan Ki Sentot semakin lama menjadi semakin dahsyat. Terseret oleh laga dua panglima mereka. Para pengawal kademangan bertempur berkelompok dan terlihat sangat padu dengan prajurit Majapahit yang mempunyai pengalaman tempur lebih banyak. Sehingga kelebihan yang dimiliki oleh pasukan Ki Sentot belum mampu mengubah keseimbangan dan belum memberikan keuntungan bagi pertempuran secara keseluruhan. Para pengawal kademangan yang sebenarnya masih menyimpan jerih dalam hatinya, kini lambat laun mulai dapat menguasai diri saat menyaksikan sendiri kemampuan tempur prajurit Majapahit.

Baca Juga :

“Pergilah. Ngger,” kata Ki Wisanggeni ketika ia bertarung dalam jarak cukup dekat dengan anaknya. “Tidak, Ayah. Saya tidak mungkin dapat meninggalkan janji yang telah terucapkan,” Lembu Daksa menolak permintaan ayahnya. “Karma seperti apa yang aku terima? Aku telah berikan hidupku untuk melakukan kebaikan dan kebenaran,” keluh Ki Wisanggeni dalam hatinya. Ia terus memutar senjatanya menyerang Lembu Daksa dengan hati tersayat. “Ayah, mungkin Sri Jayanegara memang mempunyai keburukan tetapi beliau adalah Raja Majapahit. Satu-satunya orang yang mempunyai wewenang seperti dewa. Kita tidak semestinya berdiri menentangnya baik dalam damai maupun peperangan,” kata Lembu Daksa sambil menghindar tusukan pedang ayahnya. “Dan itu adalah persoalanmu yang terbesar, Ngger.” Ki Wisanggeni kemudian meloncat surut. Ia menebar pandangan sekelilingnya. Pasukannya telah mundur setapak demi setapak, sementara bagian sayap yang seharusnya dapat memberi keunggulan pada pasukan Ki Sentot justru terdesak. Lembu Daksa memutar tombak menangkis sebatang anak panah yang deras meluncur menggapai tubuhnya. “Pertempuran ini tidak akan berakhir hanya dengan kematian salah seorang di antara kita, Ayah,” ia berkata. “Maka itu, mundurlah. Aku tidak dapat membiarkanmu untuk melakukan sesuatu yang salah,” Ki Wisanggeni mengulang permintaan. “Justru dengan menentang raja itulah kesalahan, Ayah.” “Aku tidak mempunyai jalan lain yang  terbuka lebar, Ngger,” berkata Ki Wisanggeni sambil menggebrak Lembu Daksa dengan sepenuh tenaga. Kini keduanya terlibat kembali dalam pertarungan yang sengit meski tidak ada keinginan untuk saling menumpas satu sama lain. Dalam hati Ki Wisanggeni tidak ada setitik kekejian dengan membunuh salah seorang anaknya demi sebuah keyakinan yang mendasar. Ia meronta dalam jiwanya karena seolah-olah dibiarkan berjalan sendiri oleh yang ia yakini sebagai kekuatan yang tidak terjangkau. Ki Wisanggeni merasa seluruh hidupnya adalah perjuangan untuk menunaikan kewajiban. Baik sebagai prajurit, sebagai ayah dan juga sebagai bagian suatu kelompok masyarakat. Ia sangat memperhatikan secara baik apa yang menjadi panduan untuk menjalani kewajibannya dan ia melakukan itu dengan sangat baik. Namun kini Ki Wisanggeni diterpa badai yang menggoncang kejiwaannya. Semenjak ia bergabung dengan Ki Sentot, Ki Wisanggeni berusaha mencari alasan yang dapat ia benarkan untuk menerima kenyataan bahwa anaknya akan berhadapan dengannya sebagai musuh di medan perang. “Andaikata Jayanegara adalah orang yang kuat dengan nalarnya,” suatu ketika Ki Wisanggeni bergumam dalam hatinya. Lalu ia mengangkat senjata melawan Jayanegara dengan bergabung dalam pasukan Ki Sentot yang dipandangnya sebagai orang baik. Pada saat itu, kelengahan Lembu Daksa telah membuat luka cukup dalam yang merobek lambungnya. Darah yang tidak berhenti mengalir sedangkan ia masih terus berloncatan menghindari serangan ayahnya yang tak lagi berbahaya. “Berhentilah, Ngger!” perintah Ki Wisanggeni melihat anaknya masih saja bergerak mencoba menyerangnya. “Kita harus hentikan pertarungan ini. Lihatlah! Darahmu semakin deras memancar keluar.” Lembu Daksa meloncat surut dengan satu tangan menutup luka pada lambungnya. Sejenak ia melirik pada lukanya itu lalu tiba-tiba sebatang tombak berkelebat sangat cepat meluncur deras padanya. Ki Wisanggeni bergerak sangat cepat berusaha memotong jalannya tombak namun ia terlambat. Tombak itu kemudian menancap pada dada Lembu Daksa menembus hingga bagian belakangnya. Ki Wisanggeni menengok arah tombak dilontarkan dan ia melihat seorang lurah prajurit berdiri ketakutan saat bertatap mata dengannya. Ki Wisanggeni nyaris tidak dapat menahan amarah namun ia sadar bahwa lurah prajurit itu tidak dapat disalahkan. “Ini adalah perang!” tegas hatinya. Maka selanjutnya Ki Wisanggeni berjalan menghampiri anaknya yang terkulai lemas dengan napas satu demi satu dari hidungnya. “Maafkan ayah,” berkata lirih Ki Wisanggeni dengan air mata menitik keluar dari pelupuknya. Lembu Daksa menggeleng, kemudian berkata, ”Tidak. Ayah tidak bersalah. Aku bangga mempunyai seorang ayah yang teguh pendirian. Bukan Ayah yang membunuh saya. Bukan, bukan Ayah yang membunuh saya.” Lembu Daksa mengucapkan kalimat terakhir itu berulang-ulang hingga kepalanya terkulai dan napas terakhir menghentak keluar dari dadanya. Ki Wisanggeni berteriak panjang. Suara yang keluar darinya sangat menyayat hati. Ia tidak menangisi kematian anaknya, tetapi Ki Wisanggeni menangisi peperangan yang sedang terjadi. Sejenak kemudian ia meletakkan jasad anaknya pada pundaknya, lalu dengan ketinggian ilmu meringankan tubuh, Ki Wisanggeni melesat ke arah timur. Meninggalkan medan perang. Sesaat setelah kepergian Ki Wisanggeni yang membawa tubuh tak bernyawa anaknya, pasukan Majapahit dan pengawal kademangan berteriak menyerukan kematian Lembu Daksa. Berita itu segera menyebar dan Gumilang segera membuka jalan menuju tempat pertarungan Lembu Daksa. “Aku tidak melihat tubuh Lembu Daksa,” berkata Gumilang. Seorang prajurit Majapahit yang mendengarnya lalu berkata, ”Ia telah dibawa pergi oleh lawannya.” “Orang itu bukan lawannya. Ia adalah Ki Wisanggeni, ayah Lembu Daksa,” Gumilang berkata dengan sorot mata yang memperlihatkan rasa tidak suka ketika prajurit itu memberikan keterangan. “Tetapi ia adalah lawan kita, Ki Lurah,” kata prajurit itu. “Diam! Kau tidak tahu yang terjadi pada mereka berdua.” Gumilang berlalu dari tempat itu dengan kesedihan yang sangat mendalam. Sementara itu pasukan berkuda Gumilang semakin mendesak pasukan Ki Wisanggeni hingga garis akhir pertahanan. Sementara itu Gumilang telah menempati kembali kedudukannya semula lalu bertempur seperti seekor singa marah. Tubuhnya berloncatan berpindah-pindah dari satu kuda ke kuda yang lain, merobohkan para penunggangnya dengan busur dan anak panah yang tergenggam erat padanya. Maka kemudian siasat yang digelar oleh pasukan Ki Wisanggeni menjadi porak poranda. Para pasukan Ki Wisanggeni akhirnya memilih bergabung di sayap yang lain, namun tidak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk keluar dari medan perang.

Baca Juga :

(bersambung)        

Sumber: