Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Kedua (5)

Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Kedua (5)

“Kau tetap bawa pasukan ini mendesak mundur, Gajah Praba. Aku akan memberi pelajaran pada anak muda itu,” kata Ki Jayanti pada Gajah Praba kemudian ia meluncur cepat di atas pundak-pundak prajuritnya menerjang anak muda bersenjatakan tombak pendek berwarna hitam itu. Denting nyaring senjata beradu menusuk telinga mereka yang berada di dekat lingkar pertarungan Ki Jayanti dengan Warastika. Rantai besi yang menjadi senjata Ki Jayanti belum mampu mengurung Warastika yang sangat lincah bergerak. Ujung rantai yang berbandul segitiga dari besi itu seringkali menggelepar di dan meledak sejengkal dari tubuh Warastika, namun demikian sekalipun Ki Jayanti sangat sengit menyerang, Warastika masih mampu mengimbanginya. Sedikit jauh dari tempat perkelahian Ki Jayanti dengan Warastika, Ki Cendhala Geni masih belum mampu menekan Bondan. Putaran kapaknya yang seringkali mengeluarkan dengung yang menggetarkan belum cukup memadai untuk membuat jerih murid Resi Gajahyana itu.. Kelincahan Bondan memainkan dua senjata cukup merepotkan tandang musuhnya. Ia kerap memotong laju kapak lawannya, menyerang balik lalu menjauh. “Sebenarnya apa yang kau inginkan, Ki Cendhala Geni? Menilik usiamu sekarang ini, seharusnya kau sudah lebih dari cukup untuk memperoleh apa yang disebut sebagai kamukten,” kata Bondan ketika mereka terdorong beberapa langkah ke belakang. “Kau bicara tentang kamukten pada usia yang belum sepertiga dariku? Dari mana kau belajar itu? Lihatlah, kau bicara seolah telah menggenggam langit.” Usai mengatupkan bibir,  Ki Cendhala Geni menambah kecepatan lalu  menerkam Bondan. Kaki dan tangan Ki Cendhala Geni bergerak sangat cepat mengurung Bondan dari berbagai penjuru. Tak pelak Bondan harus membenturkan kaki dan dua senjatanya untuk menahan gelombang serangan Ki Cendhala Geni yang mengalir terus menerus. Bergantian keduanya telah saling melukai, ujung senjata msing-masing berdaya untuk menembus pertahanan, serta mengurangi kemampuan lawan masing-masing untuk bergerak cepat.

  Jauh di kedalaman hatinya, Ki Cendhala Geni menyesali bahwa selama ini telahmemandang segalanya tetap berjalan seperti biasa. Ia tidak mengembangkan pemikiran bila Bondan dapat diselamatkan, atau meningkatkan kemampuan atau akan mendapatkan lawan sepadan di medan perang. “Meski singkat tetapi perubahan banyak terjadi, rupanya. Kekuatanku tidak berkurang, tetapi anak ini sanggup menahanku untuk menanjak lebih tinggi,” desahnya dalam hati. Sepintas ia melirik keadaan sekelilingnya, nyata baginya bahwa secara keseluruhan pertempuran berlangsung dengan keadaan yang tidak dapat lagi dikatakan seimbang. Ikat kepala Bondan yang terurai lepas telah berubah menjadi senjata yang dapat mematikan lawan. Ki Cendhala Geni menyadari ada bahaya lain, selain keris, yang mengancam jiwanya saat kain berukuran pendek itu menyerangnya dengan gerakan seperti seekor ular. Suara ledakan terdengar ketika ikat kepala itu menyentak sandal pancing atau menebas dengan sangat liat. Dua orang ini saling menyerang dengan garang dan sama-sama tidak menunjukkan rasa takut. Ikat kepala Bondan saling menggulung dan berputar bergantian dengan kerisnya, mengurung Ki Cendhala Geni, namun demikian orang tua itu selalu dapat melihat celah dalam olah gerak Bondan. Setelah menghabiskan waktu begitu panjang, pertarungan dua orang yang masing-masing menjadi andalan dari kubu masing-masing akhirnya tiba di titik puncak. Kapak Ki Cendhala Geni menggaung dahsyat menimbulkan rasa sakit pada telinga orang sekitarnya. Angin sambaran yang ditimbulkannya sanggup menerbangkan debu dan menghamburkan kerikil yang berukuran kecil ke segala arah. Teriak kesakitan terdengar dari prajurit-prajurit yang berada di sekitar lingkar perkelahian dua orang berkekuatan raksasa ini. Beberapa prajurit baik dari kubu Ken Banawa maupun Ki Sentot Tohjaya terpental roboh akibat kerikil yang menembus tubuh. Jika mereka dapat lolos dari senjata lawan yang dihadapinya, maka mereka tidak mungkin lepas dari hantaman angin yang menyambar keluar dari kibasan kapak. Derita para prajurit itu bertambah luar biasa setelah keris Bondan juga memancarkan hawa panas yang terasa membakar kulit. Maka yang terjadi kemudian adalah lingkaran itu semakin luas. Para prajurit yang bertempur di sekitar mereka bergeser menjauh. Selanjutnya kedua orang itu sama-sama ingin menuntaskan pekerjaan yang mereka anggap telah tertunda cukup lama. Ki Cendhala Geni yang geram karena Bondan dapat lolos darinya, kini mendapat kesempatan untuk mengakhiri hidup Bondan. Sementara di sisi lain, Bondan tidak ingin Ki Cendhala Geni kembali lepas dalam kesempatan ini agar tidak lagi menjadi gangguan keamanan Majapahit. Demikianlah mereka berdua melibatkan diri dalam perang tanding yang susah dimengerti. Tak jarang Bondan harus mengelak dari tebasan kapak sekalipun jarak masih sejauh dua langkah darinya. Ia harus mengelak agar kulitnya tidak robek karena angin tajam dari kapak mampu menyayat kulitnya. Sebaliknya, Ki Cendhala Geni harus membagi perhatiannya pada serangan ikat kepala Bondan. Kain ini selalu membuat ledakan yang gelombang suaranya dapat langsung menghantam bagian dalam pendengaran Ki Cendhala Geni. Ki Sentot Tohjaya melihat pergerakan sekelompok prajurit yang terdiri dari pasukan berkuda dan prajurit berjalan kaki sedang mengalir ke tengah pusaran yang ia pimpin. “Ken Banawa adalah senapati pilihan,” bisiknya perlahan pada dua pendampingnya, “pasukannya dapat menutup celah dan segera menuju ke barisan kita.” Kemudian ia memberi aba-aba pada dua senapati pengapitnya agar mempersiapkan diri atas kemungkinan benturan keras yang bakal terjadi dengan pasukan pimpinan Ken Banawa. Sesaat pasukan Ki Sentot yang berjumlah besar mengalir pelan menyambut laju lawan. Di atas tanah yang banyak gundukan lebih tinggi, prajurit Majapahit dan para pengawal kademangan segera membuka barisan untuk menebar. Mereka akan menghantam inti kekuatan pasukan Ki Sentot Tohjaya secara langsung. “Tahan diri kalian masing-masing! Kita akan menyerang setelah ada perintah dariku!” Ki Rangga Ken Banawa berseru lantang dari punggung kuda. Pada jarak yang cukup dekat dari pasukan Ken Banawa, Ki Sentot Tohjaya menyuruh pasukannya berhenti. Ia berkata, ”Aku tidak menutup mata atas kekalahan kita di beberapa tempat, tetapi kemenangan kita akan ditentukan sekarang ini. Oleh kalian semua! Kita telah sampai di tempat ini dan kita akan bertahan di sini, menghancurkan Majapahit di sini. Tidak ada lagi jalan untuk pulang, satu-satunya pilihan bagiku dan kalian semua adalah mengubur mereka di tanah ini!” Usai mengatupkan bibirnya, Ki Sentot memberi perintah pada pasukannya untuk maju menyerang. Ken Banawa pun telah menarik tali kekang kudanya dan menerjang diikuti oleh prajurit-prajuritnya. Seperti yang telah diperkirakan oleh para pemimpin dari dua pasukan, benturan keras dari dua barisan yang berlawanan pun terjadi. Dentang senjata beradu, anak panah berterbangan mencapai sasaran dan suara-suara tertahan bercampur baur menjadi satu. Ken Banawa telah memutar pedang untuk membuka jalan agar dapat bertarung melawan Ki Sentot Tohjaya yang berada di belakang barisan depan pasukannya. Para pemimpin dari dua pasukan telah bertemu dengan lawan masing-masing sambil sesekali meneriakkan perintah-perintah dan kata-kata pembangkit semangat juang. Pada saat pertempuran makin memanas dan darah mulai membasahi tanah, Ken Banawa telah berhasil berhadapan dengan Ki Sentot Tohjaya yang sibuk memberikan perintah pada prajurit-prajurit sekelilingnya. “Akhirnya aku dapat bertemu secara langsung denganmu, Ki Sentot Tohjaya,” kata Ken Banawa. Ki Sentot Tohjaya memandangnya dari ujung rambut hingga tidak terlepas satupun bagian Ken Banawa yang lolos dari sorot matanya yang tajam. “Akhirnya satu langkah maju telah aku lakukan untuk membuat Jayanegara tunduk  padaku, Ki Rangga,” Ki Sentot berkata sambil membuka selongsong ujung tombaknya. Ki Rangga Ken Banawa menganggukkan kepala kemudian katanya, “Tidak seharusnya Anda menempatkan diri sebagai penantang raja, Ki Sentot. Anda adalah orang terhormat dan mempunyai pengikut yang tidak dapat diremehkan. Dan saya melihat sebagian pasukan Anda telah menyerah, namun mereka adalah orang yang harus dihormati karena mengerti arti kehidupan.” “Aku tidak dapat menentang apa yang telah menjadi suara hatiku. Aku juga tidak mengatakan menyerah adalah sebuah kesalahan, aku hormati keputusan mereka selagi kita masih di medan pertempuran. Namun kau juga tahu jika keputusan itu akan membawa dampak yang mungkin berbeda dengan harapan mereka saat ini.” “Perlu Ki Sentot untuk mengerti jika akhirnya aku harus bertarung mati-matian melawan Anda itu sama sekali bukan kebencian pribadi,” Ken Banawa berkata. Ki Sentot menganggukkan kepala, dan katanya, ”Aku mengerti, Ki Rangga.” Maka sejenak kemudian, mereka telah bersiap dengan segala kemungkinan yang terjadi.

Baca Juga :

(bersambung)        

Sumber: