Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Kedua (3)

Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Kedua (3)

“Maafkan aku, Lembu Daksa. Aku hanya dapat berharap kita dapat bertemu lagi pada keadaan yang berbeda di kehidupan yang akan datang. Tetapi aku bangga dengan apa pun yang kau lakukan pada hari ini,” suara Ki Wisanggeni terdengar menggetarkan dan menyayat. Bahkan ketika sejumlah prajurit Majapahit menundukkan kepala, beberapa orang yang menjadi lawannya dapat merasakan kegetiran yang melanda ayah dan anak itu. Kecuali beberapa orang yang pada mulanya adalah sekelompok orang yang berhati kasar, mereka tetap meneriakkan makian serta umpatan-umpatan kotor pada Lembu Daksa. Lembu Daksa menggenangkan air mata. “Ampuni saya, Pencipta. Maafkan anakmu, Ayah,” gumam Lembu Daksa seraya mengangkat tombak. Ki Wisanggeni dengan mata terpejam segera menarik pedangnya yang besar. Ia menundukkan kepala. Dadanya serasa bergemuruh seperti diterjang air bah. Ia menghentak lambung kuda dengan dua kakinya. Tak lama kemuIan  pedangnya sudah menebas dahsyat. Dengan cekatan Lembu Daksa mengendalikan kuda menghindar sambil balas memukul dengan tombaknya yang juga dapat dielakkan oleh lawannya yang tangguh. Terjadilah perkelahian yang amat hebat, gerakan tangan mereka sedemikian cepat sehingga kedua senjata itu seperti saling membelit dan sukar diikuti pandang mata.  Kuda mereka sesekali mengangkat dua kaki depan, di saat lain tampak seperti burung elang menyambar mangsa. Pertarungan itu semakin cepat dan dahsyat, tiba-tiba terdengar lengkingan keras dari Ki Wisanggeni. Ia melompat dari punggung kuda dan meluncur deras ke Lembu Daksa yang sedang memperbaiki keadaannya. Melihat bahaya datang padanya, Lembu Daksa segera melayang turun dari kuda. Ia tidak menghindar serangan yang datang, tombaknya berputar ke atas memukul pedang. Ki Wisanggeni cepat menyadari bahwa anaknya yang dikasihi akan membenturkan kekuatan sepenuh tenaga dengannya. Ki Wisanggeni tidak membelokkan arah pedang. Satu ledakan hebat terdengar mengguncang dada orang-orang yang berada di seputar perang tanding itu. Keduanya merasakan tangan bergetar hebat. Agaknya tenaga Lembu Daksa berada pada satu lapis yang sama dengan ayahnya. Ki Wisanggeni meloncat mundur, berancang-ancang, lalu menerjang kembali tanpa menghiraukan getaran pada tangannya. Terdengar desing angin dan gulungan sinar pedangnya menerpa sekujur tubuh Lembu Daksa. Lembu Daksa menepi ke belakang dengan berjungkir balik menghindari sambaran pedang Ki Wisanggeni. Sekejap kemudian ia melihat celah di lambung kanan Ki Wisanggeni, ia balas menerjang. Pertarungan berlangsung sangat sengit. Dua orang itu seolah melupakan bahwa sesungguhnya mereka adalah berdarah satu.

Baca Juga

      Demikianlah yang terjadi di antara Ki Wisanggeni dan anaknya. Keduanya bertempur sewajarnya sebagai kesatria di medan laga. Ki Wisanggeni meyakini kebenaran yang dianutnya bahwa ia sedang berjuang mengembalikan tahta sesuai garis yang sebenarnya. Sedangkan Lembu Daksa menganggap itu adalah bagian dari masa lampau. Oleh karenanya ia berbeda pandangan dengan ayahnya. Lembu Daksa bertempur demi sebuah tanggung jawab melindungi rajanya dari gangguan. Ken Banawa yang berada di atas panggungan kecil di belakang garis pertempuran menilai keadaan yang terjadi di hadapannya dengan kening berkerut. Sesekali wajahnya melepaskan kelegaan ketika pasukan yang ia pimpin berhasil maju selangkah demi selangkah. Ki Jayapawira yang berada di sayap kiri terlihat sedang berusaha mempertahankan kedudukan prajuritnya. Sayap yang ia pimpin berhasil mendesak mundur pasukan lawan belasan langkah ke belakang.  Ki Jayapawira ingin memengaruhi pertempuran secara menyeluruh. Kemenangan yang diraihnya akan menghempaskan semangat lawan-lawannya. Pasukan yang dipimpinnya semakin bersemangat mendesak lawan-lawannya. Ubandhana yang mendampingi Pragola berada pada sayap yang sama dengan Ki Jayapawira. Ia melihat kemunduran pasukan yang berada pada sayapnya. Ia menebar pandang untuk mencari pemimpin dari sayap lawan. Dari jarak yang agak jauh, ia melihat Ki Jayapawira mengamuk dan memukul roboh setiap prajurit yang mendekatinya. “Agaknya senapati berusia lanjut itu yang menebar ancaman maut bagi pasukanku,” desis Ubandhana dalam hati. Ia memutar-mutar tombak pendeknya sangat kuat. Seperti burung rajawali ia berloncatan, memukul dan melemparkan prajurit lawan, membongkar garis serang pasukan sayap Ki Jayapawira. Banyak pengawal Sumur Welut roboh bergelimpangan menahan serangan Ubandhana yang merangsek maju mendekati Ki Jayapawira. Seruan-seruan pasukan Sumur Welut memberi tahu senapatinya tentang Ubandhana yang mengamuk dan mengacaukan garis depan sayap mereka. Ki Jayapawira melompat surut menjauhi garis serang sayap Ubandhana. Keningnya berkerut, ia melihat amukan Ubandhana. Seketika ia menggebrak orang kepercayaan Ki Cendhala Geni dengan tombak menjulur panjang. Serangan yang begitu dahsyat dan mematikan. Mengarah pada tiga bagian tubuh yang berbahaya. Ubandhana menyambut serangan dengan tatap mata bengis. Dengan senjata yang sama dengan musuhnya, Ubandhana menangkis dengan gerak satu putaran melingkar. Dua senjata pun bertemu di udara lalu terjadilah benturan yang menyebabkan udara sekitarnya menjadi bergetar. Keduanya sama-sa ameloncat surut, menjauh untuk bersiap kembali. Sekejap kemudian dua tombak telah saling berayun deras, membidik bagian tubuh yang berbahaya. Namun Ki Jayapawira telah matang dalam pertempuran besar, satu telapak tangannya membentuk seperti cakar harimau siap merobek lambung Ubandhana yang kemudian berseru, terkejut, lalu ia memapas tangan lawannya ke samping. Ki Jayapawira menarik tangannya dan bersamaan dengan itu ia mendorong tombaknya dengan ujung telunjuknya sejengkal lebih maju menuju dahi Ubandhana. Ubandhana gesit melempar tubuhnya ke belakang sambil mengumpati lawannya dengan kata-kata kotor.  Ia berdiri tegak dengan wajah penuh amarah. Tubuhnya sedikit membungkuk ke depan dengan kaki merendah bergeser depan belakang. Ubandhana merasa harus lebih berhati-hati menghadapi lawan yang sudah berusia dua kali lebih banyak dari usianya. Ubandhana menerjang cepat sekali mendahului Ki Jayapawira. Ki Jayapawira sengaja membenturkan senjata untuk mempersingkat pertarungan. Kedua tombak itu mengulang benturan keras. Pertemuan senjata yang kemudian disusul dengan gerakan hebat. Dua tubuh berkelebat meloncat segala arah untuk mencari sudut lemah pada lawan. Bayangan mereka sulit diikuti pandangan mata biasa. Sekali lagi, mereka mengadu kekuatan! Tubuh keduanya terhuyung ke belakang, namun kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Ki Jayapawira yang cepat memperbaiki keseimbangan lalu melesat deras dengan tombak panjang yang digenggamnya pada bagian tengah. Sementara Ubandhana yang mengalami sakit nyeri pada dadanya akibat pertemuan keras kedua senjata, masih membenahi tata geraknya. Melihat bahaya datang dengan deras, ia mencoba menjauhi Ki Jayapawira denga membuang tubuhnya ke samping. Gerakan deras Ki Jayapawira datang lebih cepat dari Ubandhana, pergelangan tangannya mengayunkan tombak yang kini lebih deras meluncur ke dada Ubandhana. Pada saat yang bersamaan kepalan Ki Jayapawira mengancam bagian leher Ubandhana. Dua serangan berbahaya itu tak terelakkan oleh Ubandhananya. Ujung lancip tombak Ki Jayapawira kuat menggapai dadanya.  Serentak bersamaan dengan robohnya Ubandhana, prajurit Sumur Welut dan Wringin Anom berteriak kencang tentang kematian Ubandhana. Sorak gembira dan pekik kemenangan tiba-tiba membahana pada udara di atas mereka. Kematian Ubandhana seperti mempercepat jatuhnya semangat pasukan Ki Sentot yang berhadapan dengan pasukan Ki Jayapawira. Sekejap kemudian terjadi kekacauan yang hebat, setiap prajurit Ki Sentot seperti tidak siap menerima akibat tak terduga. Sebagian langsung melemparkan senjata. Melihat kenyataan itu, Pragola berteriak-teriak seperti orang gila, ia mencoba membakar semangat anak buahnya. Ki Jayapawira melihat perlawanan yang dilakukan oleh Pragola, kemudian ia bergeser cepat disertai beberapa prajurit pilihan untuk mendekati Pragola. Pasukan Ki Jayapawira semakin maju dan mulai menguasai sayap kanan. Sementara itu Ki Sentot Tohjaya telah memutuskan untuk mengambil alih tanggung jawab di sayap sebelah kiri yang sedang terdesak oleh para prajurit Sumur Welut dan Wringin Anom. Ia tidak melihat seorang senopati dari barisannya yang bebas dari lawan. Ki Wisanggeni terikat perang tanding dengan anaknya, Lembu Daksa. Sedangkan Ki Cendhala Geni terlibat pertarungan dahsyat dengan Bondan di tempat berdekatan dengan pasukan Ki Wisanggeni. Ki Sentot Tohjaya datang dengan suara menggelegar menggema di atas riuh suara senjata yang berbenturan. Ia melompat jungkir balik di atas prajuritnya, ketika kakinya menyentuh tanah, Ki Sentot menyeruak sela-sela para prajuritnya yang sedang mempertahankan baris pertahanan. Sorak sorai para prajuritnya membahana seakan-akan mereka terbebas dari himpitan prajurit lawan yang datang dari depan. Kedatangan Ki Sentot benar-benar seperti minyak yang disiramkan pada api yang bernyala kecil.

Baca Juga

  (bersambung)        

Sumber: