Sahabat Kenthel Banget (1)

Sahabat Kenthel Banget (1)

Berebut Begenggek, lantas Diundi

Hasan (bukan nama sebenarnya) kali pertama mengenal Yuni (juga bukan nama sebenarnya) di Gang Dolly. Yuni adalah primadona sebuah wisma yang selalu diantre banyak lelaki. Waktu itu lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara tersebut belum ditutup. “Aku salah satu penggemar dan pelanggannya,” aku Hasan saat bertemu di kantor pengacara sekitar Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu. Hasan mengaku teramat sangat tergila-gila kepada perempuan asal Kediri tersebut. Karyawan perusahaan manufacturing ini bahkan pernah sampai beradu fisik untuk mendapat giliran lebih dulu ketika datang bersamaan dengan pelanggan lain. Setelah sempat adu jotos, pemilik wisma akhirnya mengundi dengan melempar uang koin. “Waktu itu aku pemenangnya. Sejak itu aku tidak pernah lagi melihat dia (pesaingnya, red) di sana,” kata Hasan, bangga. Hampir dua tahun jadi pelanggan Yuni, Hasan memiliki perasaan berbeda terhadap pemilik senyum embun itu. “Aku menyebut senyum embun karena senyumnya selalu membuat sejuk di dada,” imbuh Hasan, yang merasakan semakin hari hatinya semakin lekat dengan Yuni. Sampai akhirnya Hasan benar-benar sadar merasakan cinta kepada Yuni. Sadar yang sesadar-sadarnya. Sadar bahwa Yuni seorang PSK. Sadar bahwa Yuni pasti tidak bisa mengimbangi cintanya dengan tulus. Sadar bahwa dia akan ditentang keras oleh keluarga. “Tapi itu risikoku. Risiko cinta,” tutur Hasan, hingga suatu saat memberanikan diri menyatakan cintanya kepada Yuni dan mengajaknya menikah. Bersediakah Yuni? Tidak serta merta. Setelah melalui perdebatan panjang dan pengajuan beberapa syarat, lulusan SMA swasta di Kediri ini pada akhirnya memang mengangguk. “Salah satu syaratnya yang tidak masuk akal adalah: meski dia sudah jadi istriku, Yuni tetap mengenakan tarif pelayanan soal yang satu itu. Persis sama dengan sebelum jadi istri,” ujar Hasan. Deal. Mereka akhirnya sepakat. Tentu saja profesi Yuni sebagai PSK yang dalam boso Suroboyoe disebut lonte, begenggek, wong wedok nakal, dll, dsb, dst itu dirasahasiakan di depan keluarga. Setelah melalui prosesi lamaran, akad nikah, dan resepsi yang digelar cukup wah di sebuah gedung pertemuan milik badan usaha milik negara, rumah tangga pun mereka jalani dengan ayem dan tentrem. Yuni sudah meninggalkan profesinya dan menjadi ibu rumah tangga biasa. Dia tidak pernah keluar rumah selain ada kepentingan mendesak. Hasan pun begitu. Dia tidak lagi suka kelayapan. Apalagi tidak lama kemudian Dolly dan lokalisasi-lokalisasi lain ditutup. “Yang saya herankan. Meski rumah tangga kami sudah berjalan harmoni seperti keluarga-keluarga lain, Yuni masih memberlakukan syarat yang dulu: setiap kami berhubungan intim, aku harus membayar jasa pelayanannya,” kata Hasan. (jos, bersambung)  

Sumber: