Langit Hitam Majapahit – Pemberontakan Senyap (2)

Langit Hitam Majapahit – Pemberontakan Senyap (2)

Keadaaan ini telah tersiar sampai ke telinga para pemimpin Kahuripan. Berulang kali mereka menggelar pertemuan untuk membicarakan keadaan ini, namun belum juga melakukan sesuatu yang dapat mengembalikan rasa aman bagi rakyatnya. “Mungkin ini saatnya aku meminta bantuan dari kotaraja,” kata Bhre Kahuripan, pada suatu ketika, di depan para senapati. Mereka yang mendengarnya masih diam menunggu kelanjutan kata-kata Bhre Kahuripan. “Bukankah kekuatan kita masih dapat mengusir mereka keluar, Sri Bhatara Dyah Gitarja?” Seorang perwira berpangkat rendah yang berusia muda berdiri menghadap pemimpinnya. “Tidak! Kekuatan kita telah berkurang semenjak Tiro Dharma membawa keluar pasukannya bergabung dengan Ki Cendhala Geni,” berkata Bhre Kahuripan dengan sedikit sesak dalam dadanya. Ia mengakui dalam hatinya, salah satu sebab yang membuat Tiro Dharma keluar dari keprajuritan adalah penolakannya atas permintaan perwira itu untuk menambah kesejahteraan bagi prajurit. Seharusnya sebagai prajurit, Tiro Dharma mengerti, bahwa penolakan itu juga karena ulah Ki Cendhala Geni yang menguras kabuyutan Sengon,  sebuah wilayah yang selama ini menjadi lumbung Kahuripan. “Dan memang harus aku akui perampokan di siang hari itu benar-benar memberi coreng hitam di wajahku.” Bhre Kahuripan menarik napas panjang. “Baiklah, ini untuk pertama dan terakhir kali aku meminta semua senapati yang hadir di paseban ini. Aku perintahkan : untuk kalian yang ingin mengikuti jejak Tiro Dharma, aku minta untuk berdiri dan membawa semua pasukan serta peralatan kalian. Sekarang!” suara Bhre Kahuripan menggelegar menghantam setiap jantung senapati yang berdetak. Ruangan seketika menjadi senyap. Para senapati hanya saling bertukar pandang. Namun tiba-tiba dua orang senapati yang berusia sekitar empat puluh tahun bangkit berdiri lalu meninggalkan ruangan. Mereka melangkah tegap dan seakan digerakkan oleh sebuah keyakinan yang sangat kuat. Kemudian sepeninggal kedua orang itu, orang-orang kembali bersuara seperti dengung lebah.
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
  5. Bab 5 : Tiga Orang
  6. Bab 6 : Wringin Anom
“Apakah ada lagi yang akan mengikuti Gajah Praba dan Pragola?” suara Dyah Gitarja Bhre Kahuripan kembali menggelegar dengan tangan terkepal menahan geram di hatinya. Pengaruh perempuan muda ini seakan mampu membuat lantai bergetar dan mampu menghempaskan orang-orang untuk kembali menyadari keadaan. Beberapa lama kesunyian kembali mencekam. “Siapa lagi?” untuk ketiga kali ia menghantam dada setiap orang dengan suara yang penuh kegeraman.  Sementara itu mata perempuan yang menjadi penguasa tertinggi Kahuripan menebar pandangan dengan sorot penuh amarah. Setelah beberapa lama tidak ada seorang pun yang bersuara, Dyah Gitarja berjalan dengan langkah lebar meninggalkan ruangan. Bhre Kahuripan sebelumnya tidak pernah menduga, jika kelonggaran yang ia berikan kepada para pemimpin prajurit justru dijadikan pijakan untuk bersaing dalam pekerjaan yang tidak semestinya. Seseorang yang berusia tiga kali lebih banyak dari Bhre Kahuripan menatap kepergian pemimpinnya itu dengan kebencian. Ia berkata dalam hatinya, ”Sebentar lagi kau akan menyesal, penguasa kabur kanginan. Kau sungguh-sungguh akan menyesal.” Senyumnya yang licik ia sembunyikan dalam-dalam di balik kepala yang menunduk. Seraya mengelus logam emas yang berukiran kepala ular naga di sabuknya, ia kemudian mengangkat wajah dan melihat ke sekelilingnya. Tak lama kemudian seorang senapati yang berusia lanjut maju ke depan. Ia meminta semua orang meninggalkan ruangan. Ia berkata dengan suara lantang, ”Aku adalah senapati yang paling tua di antara kalian. Kini aku minta kalian membubarkan diri dan kembali ke pekerjaan masing-masing.”   Ketika bulan tidak tampak di langit dan mendung gelap menutupi Kahuripan, seorang prajurit keluar dari kota dan berkuda menuju ke sebuah pedukuhan di sebelah barat kota. Pakaian prajurit yang ia kenakan telah membuatnya dapat keluar dari kota tanpa banyak kesulitan. Setiap peronda hanya menyapa tanpa bertanya lebih jauh. Seperenam malam ia menunggang kuda dan akhirnya berhenti di depan regol padukuhan. Seorang pengawal padukuhan yang sedang berjaga telah menghentikannya. Prajurit itu turun dari kuda dan membisikkan sesuatu. Pengawal itu tiba-tiba tersenyum lebar sambil memasukkan keping emas ke dalam sabuk yang melilit pinggangnya. Kembali prajurit itu meneruskan perjalanan dan sejurus kemudian ia telah tiba di depan rumah dengan halaman yang luas. Dari mulutnya, ia menirukan suara burung kepodang tiga kali berturut-turut. Tidak lama kemudian pintu di depan rumah itu sedikit terbuka. Secercah cahaya keluar dari celah sempit pintu yang terbuka. Prajurit itu melompat turun dari kuda dan berjalan cepat memasuki rumah. “Apa isi pesan dari Ki Srengganan?” suara parau terdengar dari sudut yang gelap. “Ki Cendhala Geni harus segera mempersiapkan semua orang. Ki Srengganan akan memberi tanda bagi Anda agar segera memasuki kota dan memutus semua jalan,” kata prajurit itu dengan kepala menunduk dalam-dalam. “Baiklah. Katakan padanya, aku akan bersiap tiga hari lagi.” “Tidak, Kiai! Ki Srengganan meminta Anda bergerak dalam dua hari ke depan,” kata prajurit dengan kepala masih menunduk. Ia merasa keringatnya merembes keluar. “Aku memang sial karena melewati malam dengan menemui iblis tua ini,” keluhnya dalam hati. Ia berharap dalam hatinya agar tidak terjadi hal buruk yang menimpanya selagi masih berada di dalam rumah. Karena ia tahu jika orang bersuara parau itu dapat membunuhnya setiap saat seperti menepuk seekor nyamuk.
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
  5. Bab 5 : Tiga Orang
  6. Bab 6 : Wringin Anom
  7. Bab 7 : Pemberontakan Senyap
“Baiklah. Katakan padanya, aku menunggu tanda baik darinya. Pulanglah sekarang!” “Baik, Ki. Saya mohon diri,” prajurit itu mengucapkan kata-kata masih dengan kepala menunduk. Segera ia memutar tubuh dan melangkah keluar kemudian memacu kudanya secepat ia meninggalkan barak prajurit. Setelah prajurit itu melalu, Ki Cendhala Geni memerintahkan semua orang yang berada di dalam rumah untuk berkumpul di sanggar. Maka menjelang malam hari, telah berkumpul banyak orang di dalam sanggar. Mereka membicarakan langkah-langkah yang dapat dijalankan untuk mengambil alih Kahuripan yang akan ditinggalkan Bhre Kahuripan untuk pergi ke kotaraja. Bersamaan dengan pembicaraan yang dipimpin Ki Cendhala Geni, di barak prajurit pun juga berlangsung pertemuan para senapati yang dipimpin oleh Ki Srengganan. Selama dua hari keadaan kota Kahuripan seperti tidak terjadi adanya persiapan yang akan mengguncang hidup keseharian. Para petani, pedagang dan para pegawai kerajaan masih melakukan kegiatan seperti biasa mereka lakukan. (bersambung)        

Sumber: