Kakek Lansia Ingin Nikah Lagi (3-habis)

Kakek Lansia Ingin Nikah Lagi (3-habis)

Tunduk di Depan Pembantu

Tentu saja Hardi kaget. Mendadak dia kehilangan ketertarikan kepada perempuan itu. Meski pertemuan yang dimaksudkan sebagai ta’aruf itu dilanjutkan, Hardi sudah bertekad tidak akan mau menikah dengan sosok latah itu. Imran pun mulai berburu calon lain. Mulai ibu teman-temannya yang sudah janda hingga anggota biro jodoh. Ternyata tidak ada yang memenuhi kriteria Hardi. Yang kurang inilah. Yang kurang itulah. Pokoknya selalu ada yang kurang, kurang, dan kurang. Hampir saja semua menyerah, ketika suatu hari pada saat sarapan pagi di teras rumah belakang, istri Imran mengajukan calon. “Pak, Mas, aku punya calon untuk Bapak. Kalau mau lho. Kalau tidak ya nggak papa. Kalau oke, aku panggil dia besok ke sini. Waktu makan malam,” kata istri Imran, sebut saja Eli. Imran penasaran. Apalagi ayahnya. Mereka mendesak Eli membuka bocoran siapa calonnya. Eli tidak bersedia. Eli minta suami dan mertuanya harus sabar menunggu sampai keesokan hari. Malam itu Imran tidak bisa tidur. Bertanya-tanya siapa calon yang diajukan untuk ayahnya. Demikian pula Hardi. Tidak bisa tidur. Jangankan tidur, sekadar memejamkan mata saja tidak mampu. Kelopak matanya seperti terganjal silhuet sosok perempuan idaman pilihan menantu. Keesokan hari Imran dan Om Hardi bangun kesiangan. Karipan. Imran terpaksa tidak ngantor. Hardi terpaksa tidak jogging. Sepanjang hari itu bahkan dilalui bapak-anak ini bagai sepur klutuk merangkak menyusuri rel kereta api. Waktu merambat. Pelan-pelan. Sesiangan serasa hampir setahunan. Ketika malam tiba, mereka langsung duduk mengelilingi meja makan oval. “Bapak dan Kakek diminta menunggu. Ibu masih menjemput bakal calon pengantin,” kata anak sulung Imran. Lebih dari setengah jam, yang ditunggu belum juga muncul. Imran gelisah. Hardi malah gelisah kwadrat. Mereka tak jenak. Tolah-toleh antara piring di meja dan pintu ruang tengah. Hingga akhirnya muncullah seorang perempuan kemampo. Tidak terlalu muda, belum separuh baya, apalagi manula. Usianya sekitar 40 tahun. Penampilannya sangat anggun. Jalannya tertata. Demikian pula cara duduknya. Sangat mriyayeni. Elegan. Imran dan Hardi saling pandang. Kekaguman tidak bisa mereka sembunyikan dari wajah tegang masing-masing. “Kenal beliau?” tanya Eli, yang tiba-tiba berdiri di tengah pintu sekat. Imran dan Hardi menggeleng. Bareng. Serempak kayak dikomando. “Namanya Komaria. Panggilannya Maria. Kadang Ria,” kata Eli seperti ditirukan Imran. Mendadak Imran dan Hardi tertawa. Ngakak-kak-kak. Terbahak-bahak. Komaria eh Maria eh Ria adalah pembantu rumah tangga mereka sendiri. Orangnya pendiam, santun, dan sabar. Dia ikut keluarga Imran setelah suaminya yang buruh tani di desa meninggal, lima tahun lalu. Selama ini Sarijem memang tidak pernah macak. Setiap hari selalu pakai daster longgar sehingga terkesan gembrot. Padahal, tubuhnya singset dan padet kayak artis legendaris hidup Widyawati. Wajah dan penampilannya pun 11:12. Imran mengaku bersama ayahnya ke PA untuk mengurus surat keterangan duda yang selama ini dilupakan. “Soalnya dulu dianggap nggak penting. Ternyata keliru. Tidak perlu ke PA. Cukup ke kecamatan,” kata Imran. (jos, habis)

Sumber: