Langit Hitam Majapahit – Menuju Kotaraja (3)

Langit Hitam Majapahit – Menuju Kotaraja (3)

Serabut merah menggelayut di langit senja Trowulan. Beberapa rumah mulai memperlihatkan gemerlap pelita kecil. Malu-malu debu jalanan menyapa setiap derap langkah yang melintasinya. Bondan Lelana mengayun langkah kaki ke rumah salah satu kerabatnya, Nyi Retna Ayu Indrawati, perempuan tangguh yang menjadi kepercayaan Mpu Nambi  Wanita yang berusia lebih daru setengah baya ini juga merupakan kakak dari ayah Bondan. Dalam ayun langkahnya, Bondan merasa bersalah karena peristiwa siang tadi di tepi Sungai Brantas.  Ia berpikir bahwa jika ia tadi bergerak lebih cepat untuk melerai perkelahian maka tentu saja korban akan dapat dihindari. Sebenarnya ia berada dalam kebimbangan antara benar dan salah. Namun ia membenarkan keputusannya untuk tidak mencampuri urusan orang-orang yang tidak dikenalnya. Salah satu pertimbangannya untuk tidak turut dalam perkelahian adalah pakaian yang dikenakan oleh Wiratama. Saat pertarungan terjadi, Wiratama tengah mengenakan pakaian berlambang khusus. Sebuah lambang yang menjadi tanda  bahwa ia adalah prajurit yang sedang melaksanakan tugas. Maka setiap bantuan yang diberikan Bondan pada saat perkelahian berlangsung dapat saja menjadikan prajurit itu terhina. Dan jika ia tidak membantu pun mungkin perasaan itu akan selamanya ada. “Ah sudahlah, kejadian telah berlalu dan tak ada yang bisa aku lakukan untuk menghidupkan mayat tadi. Dan aku juga tidak tahu sama sekali dalam urusan apakah akhirnya prajurit itu terbunuh,” gumam Bondan dalam hatinya dengan penyesalan. Sekalipun masih merasa sulit mengenyahkan ingatan tentang perkelahian siang tadi, Bondan yakin bahwa ia akan melewati kesulitan ini. Satu-satunya penyesalan yang masih membekas cukup dalam di hati Bondan adalah ia tidak dapat merawat jasad Wiratama. Seorang prajurit tidak pantas ditinggalkan begitu saja di sebuah tanah lapang, pikir Bondan. Apalagi jika ia sedang menjalankan tanggung jawabnya. “Oh, tidak! Aku berharap bayangan itu cepat beralih pergi dari mataku!” Bondan mendesah gusar dengan kepala terkepal dan pelan memukul kepalanya. Gerbang utama kotaraja telah ia lalui. Malam itu Bondan memperhatikan bahwa ada sesuatu yang aneh di ibukota Majapahit. Setiap mata menaruh curiga kepadanya, satu bentuk pandangan mata yang tak pernah ia jumpai ketika melewatkan masa kecilnya di ibukota kerajaan untuk beberapa waktu. Bondan mendapati satu keanehan bahwa banyak sekali penjaga yang melakukan ronda pada awal malam. Para prajurit peronda berkeliling menyusur jalanan ibu kota dalam tenggang yang cukup rapat. Persenjataan lengkap terlihat melekat erat di sekujur tubuh mereka. Sambil berusaha menarik sebuah kesimpulan, Bondan berjalan lebih cepat. Ia berhenti di depan sebuah rumah berhalaman luas yang dipenuhi jajar  beberapa tonggak kayu berujung pelita dari minyak jarak. Setelah melewati regol halaman dan melintasi lapangan rumput yang berada di bagian depan, Bondan menaiki anak tangga. Tenang ia mengetuk pintu, sesaat kemudian terdengar langkah kaki bergegas membuka pintu. “Siapa?” terdengar suara seorang lelaki dari dalam ruangan. ”Aku Bondan,” jawab Bondan dalam kehangatan. Lelaki muda seusia Bondan yang membuka pintu itu sedikit terkejut. ”Ah, akhirnya kau menginjakkan kaki kembali ke rumah ini,” Tersenyum lebar lelaki muda ketika melihat paras yang tak asing baginya. Dua orang bersaudara  ini lantas berpelukan penuh kerinduan setelah sekian lama terpisah karena Bondan harus mengikuti orang tuanya ke Pajang. Kemudian, “Di manakah Gumilang?” Bondan bertanya. “Gumilang bermalam di rumah paman Benawa,” jawab Sela Anggara. Bondan manggut-manggut mendengarnya. Kemudian mereka saling bercerita tentang babak-babak kehidupan yang memberi kesan mendalam di hati mereka. Tak jarang terdengar gelak tawa keduanya saat mengingat masa kecil yang pernah mereka lalui bersama. Akhirnya tanpa mereka sadar fajar pun menampakkan diri di ufuk Trowulan. Sela Anggara membuka pintu yang diketuk pelan. Seorang pelayan mengantarkan minuman hangat bagi mereka berdua. “Kakang, ada apakah di Trowulan saat ini? Setiap orang menatapku curiga,” Bondan bertanya kemudian sambil meletakkan cawan. ”Beberapa hari yang lalu terjadi sebuah pembunuhan. Belum diketahui siapa pembunuhnya tetapi tentunya kematian seorang balamantri dengan cara yang mengerikan tentu mengguncangkan istana,” suara Sela Anggara terdengar sangat pelan. Seolah ia khawatir terdengar oleh dinding-dinding yang bisa saja bertelinga. ”Pembunuhan itu dilakukan dari jarak yang cukup jauh. Sebatang paku tertancap di leher Mantri Rukmasara. Tubuhnya ditemukan dalam keadaan sudah membiru dan mulut yang berbusa,” Sela Anggara melanjutkan penjelasannya, “Terlebih lagi pembunuhan terjadi ketika keadaan di istana sedang menghangat.” Bondan mengerutkan keningnya dengan mata memandang sungguh-sungguh. Kemudian, ”Apa maksud dari keadaan menghangat itu?” Sela Anggara menghindari tatapan mata Bondan, namun kemudian terdengar ia menjawab,”Orang-orang di sekitar Sri Jayanegara mulai menggerakkan tangan. Gejolak-gejolak pun terlihat di permukaan. Namun aku tidak dapat menuduh atau menyebut nama satu demi satu. Karena semua itu masih terselubung dalam mendung gelap.” Bondan merenungi jawaban Sela Anggara. Hingga kemudian pengasuh mereka di masa kecil mendekati lalu meminta mereka agar segera beristirahat. Kedua anak muda ini lantas tersenyum dan terkenang betapa kasih Nyai Malini saat mengasuh keduanya di masa kecil. Lantas mereka berdua mohon diri memasuki bilik masing-masing untuk beristirahat. Ketika matahari mulai menggelincirkan ke barat, Bondan yang merasa sudah cukup beristirahat segera keluar dari rumah bibinya. Dengan mengajak Gumilang Prakoso yang mahir dalam mengenali senjata, Bondan pun berencana melihat dari dekat kediaman Mantri Rukmasara. Sambil mengayunkan kaki di sela-sela orang berlalu lalang, kedua anak muda ini berbincang dengan sungguh-sungguh mengenai pembunuhan Mantri Rukmasara beserta putrinya. Gumilang menduga bahwa latar belakang pembunuhan itu adalah karena Mantri Rukmasara menolak tuduhan mencuri hasil panen raya sekitar empat purnama yang lalu. Pelan Gumilang berkisah, “Lalu sang mantri meminta bantuan Ki Curik Kemba, seorang tokoh yang disegani di Karangploso, untuk membungkam mulut orang suruhannya. Aku mendengar bahwa sangat sedikit orang yang mampu mengalahkan Ki Curik Kemba yang terkenal dengan pukulan tangan kosong. Konon hantaman Ki Curik Kemba ini sanggup memecahkan batu karang dan melubangi besi yang tebal. Tetapi ia bernasib buruk. Ki Curik Kemba yang justru terbunuh dalam pertarungan di kaki bukit yang terletak diluar Kademangan Wringin Anom oleh seseorang yang tidak dikenal.” “Aku mendengar ada nama perempuan yang disebutkan ketika pertarungan beberapa waktu lalu di tepi Sungai Berantas,” desah Bondan. Gumilang bergumam, ”Andini.” Lantas panjang lebar ia menjelaskan bahwa Andini  berusaha diculik oleh pembunuh ayahnya. Namun upaya si pembunuh ini gagal karena teriakan Andini telah mengundang para pengawal asrama keputrian. Sekelompok pengawal berdatangan mengepung penculiknya. Namun malang menimpa Andini! Orang yang terpergok ini lantas menderaskan dua batang pasak kecil ke tubuh gadis malang itu. “Menurut kabar, penusukan itu diketahui oleh Wiratama. Perkelahian singkat pun terjadi tetapi orang-orang gagal membekuk pembunuh Andini. Ia mampu melepaskan diri setelah melompati dinding batu yang menjadi pembatas halaman,” berkata Gumilang. “Jadi perkelahian yang aku lihat di dekat padukuhan Watu Kenongo bermula dari tempat ini,” gumam Bondan dengan mata seolah mencari sesuatu di setiap bagian jalan yang mereka lalui. Pada saat itu, Bondan menceritakan kepada Gumilang Prakoso bahwa ia bertemu seseorang yang juga menggunakan paku sebagai senjata. Termasuk perkelahian yang ber-akhir dengan kematian Wiratama. “Bondan, yang menarik dari serangkaian kejaIan ini adalah kemungkinan kaitan peristiwa Mantri Rukmasara dengan kejadian perampokan yang belakangan ini sering terjadi di Wringin Anom.” “Ah, apalagi ini? Bukankah Wringin Anom itu jauh dari sini?” “Itulah yang masih diselidiki oleh para perwira termasuk paman Ken Banawa.” Gumilang berbisik, ia mengatakan akan memberi tahu pada seorang perwira bawahan Ken Banawa setelah mereka memeriksa rumah Rukmasara. Bondan mengangguk setuju. Tak lama kemudian keduanya telah tiba di depan gerbang rumah Rukmasara. Dua orang bersaudara ini dengan cepat menyeberangi jalan lalu melompati dinding dan segera berada di dalam rumah Rukmasara. Lalu mereka berkelebat cepat memasuki tiap ruangan secepat dua ekor burung walet. Dalam kehati-hatian mereka bergerak begitu cepat dan tanpa kegaduhan. Mata tajam Gumilang Prakoso melihat kemilau dibawah terpaan matahari. Benda ini berada di luar ruangan. Gumilang keluar melewati jendela yang terbuka, dalam sekejap sudah mencabut benda berkilau tadi. Bondan yang mengetahui pergerakan Gumilang segera menyusul. ”Sepintas benda ini serupa dengan yang aku jumpai di Watu Kenongo.” “Oh, benarkah?” Bondan menganggukkan kepala tanpa menyahut pertanyaan Gumilang. ”Kita tidak dapat sembarangan menuduh. Hanya dua orang yang lihai menggunakan senjata ini. Lihatlah, benda ini nyaris seluruhnya tertancap ke dinding batu. Kekuatan yang mengagumkan,” gumam Gumilang. Keduanya lantas meninggalkan rumah Rukmasara yang sudah tak berpenghuni karena penerapan jam malam dari kepala pengawal khusus kotaraja. Setelah melewatkan malam bersama keluarga Nyi Retna Ayu Indrawati, Bondan melakukan pembicaraan kembali tentang temuan mereka di rumah Rukmasara. Sela Anggara tidak banyak berbicara, ia hanya mendengar pembicaraan Bondan dengan Gumilang. (bersambung) [penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="Baca Juga" background="" border="" thumbright="no" number="8" style="list" align="left" withids="112712, 112894, 113534, 113738, 114210, 114613, 114659" displayby="recent_posts" orderby="title"]      

Sumber: