Langkah Dini Eri Menuju Episode Lanjut

Langkah Dini Eri Menuju Episode Lanjut

Oleh Arief Sosiawan Pemimpin Redaksi   Kamis (20/5), dua hari lalu, adalah Hari Kebangkitan Nasional. Tak banyak rakyat negeri ini yang merayakannya. Padahal, hari tersebut istimewa bagi bangsa ini, mengingat pada 1908 (di negara yang belum menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia) berdiri sebuah organisasi pergerakan anak-anak muda bernama Boedi Oetomo. Organisasi penanda kebangkitan rakyat kala negeri ini masih di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Merekalah tokoh-tokoh yang mampu menginspirasi rakyat hingga negeri ini merdeka. Paling tidak, Boedi Oetomo sukses memberi warna hingga membentuk pola pikir rakyat (kala itu) untuk menjadi jati diri sendiri. Bangkitnya semangat nasionalisme, persatuan, kesatuan, dan kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kejadian itu sudah berlalu 113 tahun. Rupanya, potongan sejarah itu menginspirasi sosok muda Eri Cahyadi ketika memimpin “kedaulatan” Kota Pahlawan saat ini. Paling tidak, makna kebangkitan kini menjadi pokok pikiran pria yang mulai nyaman duduk sebagai wali Kota Surabaya. Terbukti, dirinya memulai pembenahan kinerja pamong dengan “mewakafkan” tenaga dan waktu untuk berkantor di kelurahan dengan satu tujuan dan tekad agar bisa membangkitkan semangat kinerja pamong dalam melayani kepentingan rakyat. Eri Cahyadi pun terlihat memiliki perhatian penuh terhadap kepentingan-kepentingan rakyat agar tidak disepelekan pamong bawahannya, dalam mengawal kebijakan pelayanan sebagai prioritas pemerintahannya. Terlihat sekali semangatnya. Tampak banget pola kerjanya. Eri Cahyadi dengan bangga menegaskan dirinya melakukan ini karena satu tekad; mengembalikan pelayanan terbaik cukup sampai tingkatan kelurahan dan kecamatan, selain dapat langsung mendengar keluhan rakyat. Bagi yang paham, pasti langkah Eri Cahyadi itu konkret dan diberi acungan jempol. Bahkan bisa empat jempol. Wow! Bagi yang tidak, pasti alam pikirannya menerka-nerka. Ada apa di balik langkah itu? Ada kepentingan apalagi yang disembunyikan Eri Cahyadi? Apakah Eri Cahyadi tidak percaya kepada pamong bawahannya yang bernama lurah? Camat? Atau Eri Cahyadi hanya cari panggung agar bisa melenggangkan kakinya kembali untuk jabatan wali Kota Surabaya periode kedua nanti mengingat di periode pertama dirinya hanya memimpin tidak lebih dari tiga tahun? Atau, Eri Cahyadi ingin menguatkan kesan sekaligus menasbihkan dirinya lebih baik dari wali kota Tri Rismaharini, wali kota pendahulunya dalam hal menangani kotanya? Sejujurnya masih banyak pikiran lain yang menerka-nerka langkah Eri Cahyadi berkantor di kelurahan ini. Bisa jadi dibenak pikiran banyak rakyat yang tak habis pikir menyaksikan langkah Eri Cahyadi kali ini terbersit langkah mubazir karena kelas wali kota jauh lebih cerdas dari kelas pamong yang berkedudukan sebagai lurah. Jadi teringat Umi Pipik, istri Ustad Jefri Al-Bukhori (Uje), yang kini dengan bangga membeberkan cerita kalau Uje pernah berpoligami setelah delapan tahun ustaz kondang itu berpulang. Meski poligami itu tidak aib, tapi berkoar-koar atau bercerita setelah kematian sang suami menandakan jika dirinya belum ikhlas melepas kepergiannya. Karena, kalau ikhlas seharusnya ya diam, kalau dibeber ke publik itu namanya iklan. Begitu pula langkah Eri Cahyadi, tidak seharusnya berkantor di kelurahan dibeber ke publik yang mengesankan sebagai langkah beriklan untuk dirinya.(*)

Sumber: