THR Dicicil, Pakar Hukum: Perusahaan Harus Transparan dan Tak Manfaatkan Momen

THR Dicicil, Pakar Hukum: Perusahaan Harus Transparan dan Tak Manfaatkan Momen

Surabaya, memorandum.co.id - Pandemi Covid-19 membuat pengampu kebijakan menciptakan aturan opsional baru, salah satunya yang mengatur soal pemberian Tunjangan Hari Raya (THR). Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) berencana untuk mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan yang memungkinkan perusahaan agar bisa mencicil pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) seperti tahun sebelumnya. Hal ini pun memicu pakar hukum Universitas Airlangga, M. Hadi Shubhan untuk menanggapi. Secara teknis dan norma, dia menyebut SE tersebut telah melanggar peraturan. Pasalnya, di dalam Permenaker No. 6 tahun 2016 mengatur bahwa perusahaan swasta harus memberikan hak THR buruh paling lambat adalah H-7 hari raya. Selain itu, Hadi menyebutkan adanya Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 tahun 2021 yang akan memberikan denda 5 persen kepada perusahaan apabila terjadi keterlambatan dalam pemberian THR. "Dikatakan melanggar aturan iya. Akan tetapi, merujuk pada situasi pandemi sekarang ini, saya melihat bahwa SE Kemenaker dapat dipahami. Dengan melihat kondisi krisis di lapangan, yang terpenting adalah bukan buruh dapat THR atau tidak, tetapi buruh masih bisa bekerja atau tidak," terang dosen 47 tahun itu, Rabu (31/3/2021). Lebih lanjut, dosen yang juga sekaligus Direktur Kemahasiswaan Unair itu menuturkan bahwa tidak ada pihak yang diuntungkan dalam SE tersebut. Bagi perusahaan sendiri, sebut Hadi, SE itu menjadi diskresi bagi kondisi keuangan perusahaan. "Sementara bagi pemerintah, aturan tersebut sebagai penyeimbang supaya sektor perusahaan tetap berjalan," ulasnya. Meski Hadi menilai pencicilan THR saat masa pandemi bisa dipahami, namun dia menekankan SE tersebut tidak boleh digeneralisasi bagi semua perusahaan. Menurutnya, perusahaan yang masih mampu dan memiliki margin dalam laporan keuangannya, maka perusahaan itu harus tetap memberikan hak THR buruh sesuai aturan waktu. "Di sinilah fungsi pengawas ketenagakerjaan yang ada di Disnaker setempat harus diperkuat. Setiap perusahaan harus transparan dengan kondisi keuangannya, jangan sampai perusahaan justru memanfaakan moment dan menjadi penumpang gelap dengan memanfaatkan hak pekerja,” tekannya. Ditanya perihal nasib buruh, dosen mata kuliah Hukum Perburuhan itu berharap agar buruh dapat memahami SE tersebut dengan melihat situasi pandemi saat ini yang merugikan berbagai sektor industri. Ditambah lagi, lanjut Hadi larangan pemerintah untuk melakukan mudik juga menjadikan urgensi THR tidak begitu mendesak bagi buruh. "Sebenarnya larangan mudik ini kan untuk mencegah penyebaran Covid-19, tetapi secara tidak langsung larangan itu berimplikasi pada nasib buruh di mana THR-nya diberikan dengan sistem cicil. Jadi, relevansi THR tidak sepenting seperti kondisi normal," jelasnya. Meski begitu, Hadi mengimbau perusahaan juga bisa memahami kondisi buruh dengan tetap memberikan THR sebagaimana jumlahnya dan dalam bentuk uang. "Jangan hanya menuntut buruh untuk memahami situasi, tetapi pihak perusahaan sendiri tidak transparan dan acuh pada nasib buruh," ujarnya. (mg3)

Sumber: