Keterangan Saksi Pojokkan Terdakwa Penggelapan RS William Booth

Keterangan Saksi Pojokkan Terdakwa Penggelapan RS William Booth

Surabaya, memorandum.co.id - Rina Hernawati, terdakwa dalam kasus penggelapan dalam jabatan uang pembayaran pasien senilai Rp 445 juta di Rumah Sakit William Booth (RSWB), terpojok atas keterangan saksi Sautma Hutabarat. Dalam keterangannya, Sautma menjelaskan, bahwa mantan Kepala Unit Akuntansi RSWB ini awalnya meng-kliring atau memindah bukukan uang bilyet giro dari rekening rumah sakit ke rekening pribadinya pada 2014. Nilainya Rp 30 juta. Selain itu, terdakwa yang memiliki kartu debit bank menggunakannya untuk menggesek ke mesin EDC sebagai tanda pengganti proses pembayaran dari pasien hingga keluar struk. Kemudian struk itu digunakan sebagai bukti kepada pasien. Wakil Direktur RSWB Sautma Hutabarat menyatakan, setelah struk keluar dari mesin EDC, Rina langsung menekan tombol cancel atau di-void (dibatalkan secara sistem). Dengan begitu pembayaran tidak jadi masuk ke rekening milik rumah sakit. "Kalau pasien membayar, dia menerima tunai dari pasien. Setelah menerima, dia memberikan kuitansi kepada pasien. Transaksi selesai. Tapi, karena niatnya untuk kepentingan pribadi, pembayaran dilakukan seolah-olah pasien membayar dengan EDC. Tujuannya di-void untuk bukti ke rumah sakit," terang Sautma di ruang Candra, di PN Surabaya, Senin (15/3/2021). Modus tersebut sudah dilakukan terdakwa sejak 2016 hingga 2020. Tidak kurang dari 70 kali transaksi. Nilainya mencapai Rp 302,9 juta. Terdakwa Rina juga diam-diam mencairkan uang di rekening rumah sakit dengan cek sebanyak dua kali. Yakni, pada Juni 2020 sebanyak Rp 60 juta dan Juli 2020 senilai Rp 50 juta. Uang itu dimasukkan ke rekening pribadinya. Selama enam tahun perbuatan Rina tidak terungkap. Namun, dia akhirnya ketahuan setelah sakit terinfeksi Covid-19. Dia dirawat di rumah sakit dan tidak dapat bekerja. Pekerjaannya diambil alih orang lain untuk sementara waktu. Orang yang menggantikan pekerjaannya menemukan transaksi pencairan cek senilai Rp 50 juta dari bukti rekening koran. Pencairan itu tercatat dilakukan direktur. Namun, saat dikonfirmasi, direktur mengaku tidak pernah mencairkan atau memerintahkan Rina untuk mencairkannya. "Saya mengecek ke bank. Yang tanda tangan betul direktur, tapi dipalsukan Rina, dengan stempel juga. Saya lihat di video (CCTV bank), Rina yang mengambil," ujar Wakil Direktur RSWB tersebut. Lebih lanjut Sautma mengatakan, Rina sudah mengakui semua perbuatannya saat dikonfirmasi. Menurut dia, uang senilai Rp 442,9 juta sudah dihabiskan terdakwa untuk kepentingan pribadinya. Antara lain, untuk membeli laptop, motor trail dan kamera untuk teman prianya. Memperbaiki rumah, biaya pengobatan dan uang muka pembelian mobil Fortuner teman prianya yang lain. Selain itu, merenovasi rumahnya sendiri, menikahkan adik dan liburan satu keluarga di Bunaken. Sautma menambahkan, berdasar pengakuan Rina, karyawannya itu diduga juga menggelapkan uang pembayaran pasien dengan modus lain. Yakni, dengan menggunakan kartu kredit. Namun, pihak rumah sakit tidak melaporkan ke polisi karena tidak menemukan bukti yang cukup. Hingga kini, Rina tidak mengembalikan sama sekali uang yang digelapkannya. Sementara itu, pengacara terdakwa, Amin Santoso membantah keterangan Sautma. Rina tidak pernah menggelapkan uang tersebut. Sebab, dengan jabatannya sebagai akunting, terdakwa tidak memiliki kewenangan untuk menerima uang. Karyawan yang bertanggung jawab menerima uang adalah kasir. "Posisi dia selaku akunting, bukan kasir. Dia tidak pernah menerima uang. Ada pihak lain, tetapi tidak dimunculkan," kata Amin. Rina juga tidak pernah menggunakan uang untuk kepentingan pribadi seperti yang disebutkan Sautma. Menurut dia, uang saja tidak digelapkan, apalagi menggunakannya. "Semacam itu kan harus dibuktikan. Tidak ada bukti untuk membeli motor dan lainnya," tandasnya. (mg-5/fer)

Sumber: