Melihat Tangan Istri Melingkar di Pinggang Driver Ojek
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Nanang berpikir: makanya Mila enggan melayani dia. Kalau memang Mila tidak mau melayani karena alasan capai, Nanang rela. Toh dia bisa berswalayan saat mandi atau memeluk erat-erat guling saat tidur. Lha kalau begini? Walau mempercayai kabar burung tadi, Nanang masih mencoba berpikir positif bahwa Mila tidak mungkin berpaling darinya. Pikiran itulah yang dia pupuk dari waktu ke waktu. Sampai suatu saat, beberapa kali Nanang merasakan kejanggalan pada istrinya. Jhamila lebih asyik dengan HP-nya ketimbang ngurusi pekerjaan, baik pekerjaan di warung maupun di rumah. Hal ini tidak pernah disadari sebelumnya. Rumah jadi kotor dan kumuh seperti kapal pecah. Apabila ditegur, Mila membalik persoalan. “Kalau tahu rumahnya kotor, mbok ya dibersihkan. Kamu kan nganggur. Daripada glundang-glundung koyok wong ilang,” kata Mila seperti ditirukan Nanang. Nanang awalnya sempat kaget, karena tidak biasanya Jhamila bersikap kasar seperti itu. Tapi, Nanang berusaha sabar. Mungkin warungnya sedang terlalu ramai sehingga bisa dimaklumi bila Jhamila bersikap seperti itu. Mungkin dia terlampau lelah. Tapi, ternyata tidak sehari dua hari saja Jhamila berperangai kurang mengenakkan. Jhamila kini sering menunjukkan sikap kasar. Terutama bila keasyikan dengan HP-nya. Sama sekali tidak bisa diganggu. Suatu saat Nanang dibentak gara-gara melihat-lihat isi HP Mila tanpa izin, padahal saat itu Mila sedang menunggu kontak dari rekan temannya. Begitu alasan Mila. “Tidak tahu aturan. HP bukan miliknya diembat. Dasar pengangguran.” Waktu itu Nanang hanya diam untuk menghindari perselisihan dengan istri. Dia memang sosok lelaki penyabar dan cenderung menyayangi istri tanpa reserve, tanpa harapan imbal balik. Kondisi batin seperti inilah yang menyebabkan Nanang terkesan sebagai suami takut istri. Lelaki yang tunduk kepada istri. Tapi, Nanang tak peduli. Biarlah apa kata orang, yang penting dia memang menyayangi Jhamila. Itu dulu. Tidak sekarang. Nanang mulai menyangsikan kesabarannya setelah mendengar kabar tentang kehadiran orang ketiga. Kesadaran ini semakin tebal pasca melihat fakta bahwa Mila diantar-jemput lelaki yang sama setiap berangkat dan pulang dari warung. Bukti terakhir terjadi saat lelaki tadi menjemput Mila dan disuruh menunggu karena Mila masih dandan. Nanang sempat menanyai namanya. “Jono,” sahut lelaki muda tadi. Hampir saja Nanang kehilangan kendali. Dia hendak mencengkeram kerah baju Jono ketika Mila muncul dan berpamitan berangkat ke warung. Nanang terpaku. Tenggorokannya kelu dan mulutnya hanya bisa berkata, “Ati-ati,” mengiringi Mila berajak naik boncengan motor Jono. “Jangkrik,” hanya itu yang terbetik di hati Nanang. Dipandanginya punggung Mila menjauh. Sebelum motor Jono ditelan tikungan di ujung gang, Nanang sempat melihat tangan istrinya berpindah dari bepegangan sadel ke pinggang Jono. Melingkar erat di sana. (bersambung)
Sumber: