Hanya Punya 1 TPA, Gresik Terancam Banjir Sampah

Hanya Punya 1 TPA, Gresik Terancam Banjir Sampah

Gresik, memorandum. co. id - Kabupaten Gresik  hanya memiliki satu TPA (tempat pembuangan akhir) yakni TPA Ngipik yang berlokasi di Jalan Prof Dr Moh. Yamin.  Per harinya, rata -rata 150 - 160 ton atau 800 -900 meter kubik sampah masuk ke TPA Ngipik.

Tingginya sampah yang masuk ke TPA membuat TPA yang sudah beroperasi sejak 2003 itu mengalami overload. Menurut Kepala UPT TPA (tempat pembuangan akhir) DLH  Gresik, Siti Choni Andriati, tempat pembuangan yang aktif saat ini kurang dari 2 hektar.

Berdasarkan studi revitalisasi yang dilakukannya, kapasitas penimbunan sampah di tanah yang kurang dari 2 hektar tersebut seharusnya ditutup pada 2018. Namun hingga menginjak awal tahun 2021, lahan tersebut terus ditumpuk oleh sampah.

Saat ditanya apakah pihaknya tidak takut tanah di bawah anjlok dikarenakan over kapasitas, Siti mengaku menyiasati hal tersebut dengan menekan jumlah sampah yang masuk ke TPA. Caranya, ia mewajibkan seluruh perusahaan yang membuang sampah di TPA untuk terlebih dulu memilah sampah miliknya.

" Sejak tahun 2018, seluruh perusahaan yang membuang  sampah ke TPA, Saya wajibkan untuk pilah dulu sampahnya. Mana sampah residu, lapak, dan organik. Dari situ, sampah organik kita olah jadi kompos, sementara sampah lapak sebelum masuk ke timbangan biasanya sudah dicegai pengepul dan dibeli. Itu sangat membantu mengurangi sampah yang masuk ke TPA, " terang perempuan 39 tahun itu, Jumat (19/2/2021).

Berdasarkan data TPA, Jumlah pemasukan sampah di TPA Ngipik sejak tahun 2016 memang mengalami penurunan. Tahun 2016, per hari sebanyak 239 ton sampah masuk TPA. Angka tersebut tidak mengalami penurunan pada 2017. Baru pada 2018, per hari jumlah sampah yang masuk ke TPA Ngipik sekitar 214 ton. Artinya ada penurunan sebanyak 25 ton. Sementara di tahun 2019, tercatat 175 ton  sampah per hari dan pada tahun 2020, hanya 165 ton per hari.

Upaya penekanan jumlah sampah yang masuk ke TPA tersebut tidak lain disebabkan karena ketersediaan lahan yang terbatas. Menurut Siti, jika tidak dilakukan penekanan kapasitas sampah yang masuk ke TPA Ngipik. Maka sebagaimana studi revitalisasi yang dilakukannya berdasarkan jumlah data sampah di tahun 2017, tempat pembuangan yang masih aktif hingga kini itu hanya bisa bertahan sampai 2018.

Terkait lahan baru TPA, menurut Siti ada 2 lokasi yang sudah dilakukan pengkajian, satu di daerah Kedamean dan di Panceng. Untuk luas tanah di Kedamean hanya 1 ha. Namun realisasi tersebut terkendala oleh penolakan masyarakat akan adanya lokasi TPA didaerah mereka.

Perlu diketahui saat ini, Gresik telah menggunakan sistem pengolahan sampah control landfill. Pengolahan tersebut dilakukan dengan menutup sampah dengan tanah setiap 7- 14 hari, seperti itu seterusnya hingga memenuhi kapasitas.

Masih menurut Siti, sebelum 2020, TPA rutin melakukan penutupan sampah dengan tanah setiap 2 minggu sekali. Namun dikarenakan adanya recofusing anggaran untuk pandemi Covid-19, maka penutupan lahan tidak bisa rutin dilakukan.

Hal tersebut membuat sampah di TPA menggunung dan tidak sedap dipandang. Selain itu musim hujan memperparah kondisi penutupan lahan (layer). Sampah yang diletakkan oleh alat berat di bagian teratas meluber ke bawah, sehingga terkesan sampah tersebut dibiarkan (open dumping).

Air lindi hasil dari sampah tersebut pun juga diolah menggunakan  IPAL (instalasi pengolahan air limba). Menurut Siti Urgensi kebutuhan lahan untuk TPA akan terus ada meskipun TPA Gresik menggunakan sistem sanitary landfill.

" Kebutuhan tanah untuk TPA baru benar mendesak, kita sudah over kapasitas," terangnya.

Maka dari itu, ia menawarkan penggunaan sistem moderen. Sehingga sampah bisa habis di TPA, Caranya tetap membutuhkan pemilahan. Namun mengingat kesadaran masyarakat Gresik yang masih kurang akan pentingnya memilah sampah

Siti mengaku hal tersebut bisa diakali dengan pembelian alat conveyor belt. Alat tersebut memiliki kemampuan untuk memilah barang, namun tetap membutuhkan tenaga manusia untuk mengoperasikannya.

" Sebenarnya untuk menyiasati keterbatasan lahan, pemerintah bisa menggunakan sistem moderen. Untuk itu kita harus memiliki Conveyor belt. Dengan sistem tersebut kita hanya butuh sekitar 3 hektar tanah dan tidak perlu ada penambahan lagi. Nantinya, Setelah sampah dipilah. Sampah organik akan kita olah jadi kompos, logam bisa kita jual, selebihnya bisa kita bakar dengan alat incinerator, meskipun alat yang kami punya hanya berkapasitas 50 kg per jam, " urai dia.

Incinerator yang dimiliki oleh TPA Ngipik saat ini memang baru 1, itu pun kapasitas paling kecil. Namun dengan alat pembakar tersebut, sampah dengan golongan tertentu bisa dimusnahkan. (han/har/udi)

Sumber: