Pangamat: Kedua Paslon Pilkada Gresik dari Nahdliyin

Pangamat: Kedua Paslon Pilkada Gresik dari Nahdliyin

Gresik, memorandum.co.id - Perkembangan penghitungan Sirekap di laman resmi KPU sudah mencapai 71,24 persen. Dari 2.267 TPS yang tersebar di 356 Desa/Kelurahan dan 18 Kecamatan, data yang masuk sudah 1.615 TPS  hingga  pukul 15.24, Jumat (11/12/2020). Dari penghitungan sementara Sirekap tersebut, pasangan calon (paslon) 1 Moh. Qosim - Asluchul Alif mendapat perolehan 49 persen suara atau 253.592 pemilih. Tertinggal dari paslon 2 Fandi Akhmad Yani - Aminatun Habibah yang memeroleh 51 persen suara atau 264.221 pemilih. Pengamat politik Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Agus Mahfud Fauzi mengatakan, ada beberapa hal yang membuat partisipasi pemilih di Gresik tinggi. Meskipun di tengah pandemi covid-19 dan cuaca yang hujan, pemilih tetap datang ke TPS untuk menggunakan hak suaranya. "Yang menjadikan partisipasi tinggi karena, pertama calonnya hanya dua pasangan calon. Sehingga semua calon bersemangat untuk berkontestasi," tuturnya, Jumat (11/12/2020). Selain itu, menurutnya tidak ada calon petahana (Bupatinya, red). Sehingga permainan politiknya sama-sama berangkat dari start yang sama atau nol. Kedua paslon juga memiliki pengaruh yang berimbang, sehingga para pemilih tersapa oleh calon. "Kedua pasangan calon pada dasarnya mempunyai background yang sama yaitu nahdliyin. Sehingga semua potensi dihidupkan," papar pria yang pernah berkiprah sebagai Komisioner KPU Provinsi Jatim tersebut. Agus menyebut, data pemilih di Kota Pudak relatif valid. Sehingga menjadikan data partisipasi tidak sia-sia atau tidak ternodai data pemilih ganda atau siluman. Hal-hal tersebut membuat potensi kekuatan kedua paslon berimbang. Bahkan hingga saat ini selisih perolehan suaranya sangat tipis. Sesuai hasil penghitungan aplikasi Sirekap di atas. Agus mengimbau agar semua pihak menunggu hasil rekapitulasi resmi KPU Kabupaten Gresik. Siapapun pemenangnya harus dihormati. Akan tetapi, jika ada pihak yang merasa janggal, atau ada alasan lainnya, maka ada instrument untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan. Yakni sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut dia, proses sengketa pilkada di MK bukanlah hal yang tabu. Proses di MK dugadirkan oleh negara sebagai resolusi konflik pilkada. "Akan tetapi, setelag keputusan MK maka semua harus menerima atau melaksanakan. Sebab keputusannya final dan mengikat," pungkasnya.(and/har/udi)

Sumber: