Zalim Halus

Zalim Halus

‘’Sori, saya rokok ya. Kalau sejam ga rokok, gak kuat mikir,’’ kata seorang sekjen lembaga pemerintah yang saya temui. ‘’Ayo kalau sampeyan mau, rokok saja tidak apa-apa,’’ katanya. Tentu, tak apa-apa. Tak ada yang berani menegurnya karena posisi jabatannya yang sangat tinggi. Tapi, asap yang dihembuskannya ke seluruh kantor yang menggunakan AC sentral tentu sangat membahayakan para karyawannya. Itulah zalim. Dalam Bahasa Arabnya dzholim, meletakkan sesuatu perkara bukan pada tempatnya. Dalam Alquran, orangnya disebut dzholimin, orang yang berbuat zalim. Allah membencinya. Sedangkan lawan zalim dan Allah menyukainya adalah sikap adil. Kelihatannya tidak menyakiti dan merugikan siapa saja. Tapi, sesungguhnya amat merugikan. Di luar negeri, terutama di AS, jika seorang anak terkena kanker dan kebiasaan orang tuanya merokok di dalam rumah atau dalam mobil ketika anaknya ada di situ, bisa digugat di pengadilan. Beruntung di Indonesia, anak cenderung patuh dan hormat kepada orang tua apa pun yang dilakukannya. Maka, langka jika ada yang mau menggugatnya di pengadilan. Tapi, sikap itu, tetap mendzalimi anak-istri yang begitu nrimo sikap ayah atau suami yang merokok tatkala menggendongnya, atau membonceng sepeda motor, atau naik mobil meski tangannya yang memegang rokok ditaruh di luar jendela. Tapi, ketika menyedot tetap saja, mulutnya berada di mobil. Dosen juga bisa bersikap zalim jika mempersulit mahasiswanya, misalnya, untuk bimbingan skripsi. Jika itu, untuk kebaikan atau kualitas, tentu saja baik-baik saja, tapi kadang sangat sepele, tak mau bimbingan karena sibuk padahal sudah janjian. Bisa juga karena lupa, karena merasa bisa ditunda dan sebagainya. Saya sering mendengar bimbingan mahasiswa S3 yang tentu saja promotornya seorang guru besar, sulit sekali ditemui. Padahal, sang mahasiswa dari luar pulau khusus datang untuk menemuinya. Majikan jika tidak hati-hati gampang tergelincir dalam bersikap zalim ini. Misalnya istri yang mempunyai asisten rumah tangga yang tidur di rumah. Dia mengangap pembantunya bisa dipekerjakannya 24 jam nonstop. Tujuh hari dalam seminggu. Saya kira ini sudah masuk wilayah kezaliman itu. Atau menunda-nunda gajinya. Padahal, agamanya memerintahkan sebelum keringatnya kering. Alias segera. Atau sang suami yang mendapat fasilitas driver dari kantor, lalu banyak menggunakannya untuk mengantar ke sana kemari untuk urusan pribadi tanpa memberikan honor tambahan. Yang juga harus hati-hati agar tidak terpeleset pada sikap zalim ini adalah para penguasa. Dia mempunya power yang begitu besar untuk mewujudkan keinginannya bahkan termasuk membuat peraturan perundangan. Semuanya bisa disetirnya karena mempunyai kekuasaan yang luar biasa seperti mengangkat, mengganti, memutasi, menyingkirkan, bahkan memecat para penghalangnya. Jika untuk kemajuan tentu baik-baik saja, tapi jika itu untuk kepentingan pribadi atau segelintir orang, bukan untuk rakyat yang dipimpinnya, bisa masuk kategoi zalim ini. Hidup memang harus hati-hati. Siapa sangka jika menggunakan lampu kantor untuk urusan pribadi pun, Khalifah Umar bin Abdul Aziz harus mematikannya karena putranya mengajaknya untuk bicara persoalan keluarga bukan negara. Ia takut berbuat zalim. Sudah sehati-hati itukah kita? Salam! Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonesia

Sumber: