PR Untuk Yang Anti

PR Untuk Yang Anti

Oleh: Ali Murtadlo Bagus untuk kita renungkan tatkala kita sedang bersemangat memperingati sejarah kelam negeri ini: Pengkhianatan G30S/PKI. PR untuk yang anti-komunis, bagaimana bisa menunjukkan bahwa value kita, nonkomunis, bisa lebih membuat kemakmuran, kesejahteraan. Jika kita punya alasan belum bisa membuktikan karena tidak in power, tidak sedang berkuasa, tidak berposisi membuat keputusan, bisa membuktikan secara sederhana: diri sendiri. Ya, bagaimana diri kita bisa sukses, makmur, sejahtera karena value yang kita yakini. Kita punya etos kerja yang tinggi karena digerakkan oleh value ini. Gus Baha' --panggilan KH Ahmad Bahauddin-- punya kisah mengenai motivasi seseorang melakukan sesuatu. "Ada Ustad yang dipanggil oleh anak muda untuk datang ke rumahnya. Ustad itu datang, sampai di rumah, dibiarkan saja. Setelah itu, dibilangi begini: Oh, maaf Ustad tidak jadi, lain kali saja.Ustad itu pulang," kata ulama yang hafal Quran dan ahli tafsir ini saat ceramah di depan pejabat dan civitas Universitas Muhammadiyah Malang 14 Juli lalu. Anak muda ini, rupanya sengaja ingin mengerjai sang ustad. Dipanggil lagi, dibiarkan lagi, pulang lagi. Setelah begitu terus sampai tiga kali, anak muda ini bertanya, "Ustad, mengapa tidak marah," katanya. Apa jawab sang ustad? "Lho, kalau saya marah, berarti saya ini digerakkan oleh hawa nafsu. Lha, saya wira-wira ke rumah sampeyan itu karena saya digerakkan oleh perintah Allah. Yaitu, perintah berbuat baik kepada tetangganya. Kalau tetangga manggil, ya saya datang," katanya. Mendengar itu, si anak muda menangis dan menciumi tangan sang ustad seraya memohon maaf. Kerja kita, amalan kita, usaha kita digerakkan apa? Value apa? Jika mendasarkan kepada Al Quran dan Al Hadis, begitu banyak perintah untuk berusaha. Misalnya: Ar Ra'du 11: Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu kaum, sebelum kaum itu berusaha untuk mengubahnya. Pertanyaannya: seberapa kuat, kita berusaha mengubah nasib kita? Atau motivasi ini: Dan, bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (an-Najm 39). Telah mengusahakan apa? Telah berihtiar apa? Atau ini: Apabila kalian telah menunaikan sholat, maka bertebaranlah ke muka bumi mencari rejeki Allah (Al-Jumuah 10). Pertanyaannya: sudah bertebarankah kah kita? Atau: Bekerjalah kamu, maka Allah, rasul serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu (At-Taubah 105). Sudah bekerja kah kita? Seberapa keras? Seberapa jujur? Seberapa profesional? Atau kita hanya pintar menuntut, bicara, protes, tapi lemah melaksanakan atau melakukan sesuatu yang tiada berguna. Padahal, kita disuruh menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada guna (Al Mu'minun 3) Nabi juga memotivasi agar kita menjadi mukmin yang kuat katimbang yang lemah karena hal itu lebih baik dan lebih dicintai Allah (HR Muslim 2664). Pertanyaannya, apakah semua perintah itu, telah menjadi dorongan kepada kita untuk berbuat. Apakah ihtiar kita sehari-hari digerakkan oleh perintah ini? Lalu, mengapa ada pertanyaan dari ulama besar dari Libanon Syech Syakib Arsalan: Limadaza taakharal muslimun, walimadza taqaddamu ghoiruhum. Mengapa umat Islam mundur dan mengapa yang lainnya maju? Perbuatan kita. Amal kita. Usaha kita. Ihtiar kita. Sesungguhnya digerakkan oleh apa? Mungkin inilah renungan terbaik detik-detik memperingati G30S/PKI. Tugas kita membuktikan bahwa value kita terbaik untuk kesejahteraan dunia. Rahmatan lil 'alamiin. Salam! Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonesia (KGI)

Sumber: