Logika LBP, Logika Nana
Oleh: Ali Murtadlo Sama-sama berlogika. Sama-sama benarnya. Luhut Binjar Panjaitan, saat diwawancarai Najwa Shihab, mengatakan bahwa setiap anak bangsa punya kewajiban untuk duduk tenang dan menjaga keamanan republik ini."Sorry Najwa, ngapain kamu menampilkan gambar-gambar yang provokatif seperti ini," kata LBP, Menteri Kordinator Kemaritiman dan Investasi yang baru ditunjuk Presiden untuk menurunkan angka Covid dalam dua minggu di 9 provinsi ini. Gambar yang dimaksud LBP adalah kampanye dangdutan, arak-arakan ketika pendaftaran paslon ke KPU, dan kerumuman hajatan pilkada lainnya. Nana, panggilan Najwa, langsung berkomentar. "Ini fakta Pak Luhut. Maaf Pak Luhut, saya tidak memprovokasi, saya menunjukkan apa yang terjadi di lapangan," jawabnya. LBP mengomentari lagi. "Dalam situasi seperti ini mestinya kita punya kewajiban kemanusian yaitu ikut membuat suasana tenang. Mestinya carilah topik-topik yang tidak seperti ini. Sebab, tanpa kita sadari, kita ikut membuat suasana kacau. Mestinya kita lebih menekankan tanggung jawab kita kepada kemanusiaan," kata LBP. Bukan Nana kalau tidak tangkas menjawabnya. Dia berkata: "Lha bagaimana terhadap keputusan yang tetap menjalankan pilkada pada 9 Desember nanti. Apakah itu tidak mengabaikan pada kepedulian keselamatan kemanusiaan?" "Tapi," jawab Luhut, "dengan memberikan aturan yang jelas, rambu-rambu yang jelas. Mestinya pilkada 9 Desember bisa kita laksanakan. Saya yakin bisa." To be fair, semuanya benar. LBP punya logika sendiri versi pemerintah. Nana benar versi non pemerintah khususnya yang mempertanyakan apa sebaiknya pilkada ditunda saja mengingat pandemi yang makin mengganas. Persis seperti pikiran NU, Muhammadiyah dan tokoh-tokoh seperti JK, Din Syamsudin dan sebagainya. Keduanya menjalankan tugasnya. LBP atau pemerintah ingin ketenangan, kepatuhan. Kondusisifitas. Nana mewakili yang usul penundaan, mengatakan bahwa demi keselamatan. Demi kemanusiaan. Mencegah korban. Pemilu serentak yang lalu saja yang belum ada pandemi mengakibatkan ratusan petugas meninggal dunia dengan meninggalkan misterinya. Ketika pemerintah sudah mengambil kata putus: tetap 9 Desember, semua patuh. JK mengatakan, "Ya, itu kewenangan pemerintah untuk memutuskan. Kita ikuti. Toh, sudah kita katakan resiko-resikonya." Begitu juga dengan yang dikatakan Prof Haedar Nashir, ketua umum Muhammadiyah. "Ya sudah kita tunduk. Tugas kita memberikan masukan sudah selesai.." Yang tidak benar. Jangan sekali-kali berpikir yang beda persepsi, dianggap menentang. Tidak taat. Tidak patuh kepada pemerintah. Provokator. Dimusuhi, disingkirkan, dihabisi. Untuk itu digerakkan buzzer dan influencer dan manuver yang lebih licik dan ganas dari itu. Inilah sesungguhnya yang bikin kotor demokrasi. Percayalah, second opinion, third opninion, people opinion meski beda, pasti bermanfaat. Itulah cara, sebagian rakyat negeri ini, mengabdi untuk negerinya. Berpikir kritis. Salam! Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonesia (KGI)
Sumber: