Sekolah Daring Bikin Otak Tambah Garing

Sekolah Daring Bikin Otak Tambah Garing

Oleh Arief Sosiawan Pemimpin Redaksi Pandemi Covid-19 (Corona Virus Desease-19). Kapan akan berakhir? Ungkapan bernada pertanyaan seperti itu jamak terdengar akhir-akhir ini. Sering terlontar dari berbagai kalangan. Rakyat jelata sampai yang kaya. Rakyat kelas atas bahkan ramai-ramai mempertanyakannya. Parahnya, berbagai elemen rakyat di Indonesia maupun di negara lain bertanya-tanya hal yang sama, Covid-19 kok gak selesai-selesai? Apa yang sebenarnya terjadi? Berbagai pertanyaan itu memicu pertanyaan tambahan. Bahkan lebih parah; apa mungkin pandemi Covid-19 terjadi akibat perang dagang internasional antara China dan Amerika Serikat? Juga ada yang bertanya, apa benar Covid-19 sengaja diluncurkan agar dagangan vaksin antivirus dibeli semua negara di seluruh dunia (termasuk Indonesia)? Atau jangan-jangan Covid-19 sengaja disebar agar negara kuat dapat menjadikan negara lemah sebagai “jajahan baru” mengingat perpolitikan internasional kini bergeser pada isu radikalisme. Tanda-tandanya kini mulai terlihat. Di berbagai negara muncul gesekan antarras, antaragama dan keyakinan, atau antarsuku. Bagaimana di Indonesia? Sulit mencari jawabannya meski mulai terlihat gejalanya. Namun yang pasti, kebanyakan masyarakat Indonesia kini mulai stres. Mulai muncul rasa saling tidak percaya antarmasyarakat. Stres itu sangat terasa di kalangan emak-emak. Terutama jika bicara soal pendidikan dan perekonomian keluarga. Pendidikan model pembelajaran dalam jaringan (daring) yang diberlakukan sejak ada Covid-19, bagi kebanyakan emak-emak dianggap sebagai ancaman global bangsa Indonesia. Mereka menilai buah hatinya tidak berkecukupan mendapatkan ilmu sebagai modal hidup di masa depannya. Tak hanya itu, model daring dianggap menambah stres kehidupan keluarga. Kesehariannya sulit menjaga emosional, apalagi tugas-tugas yang diberikan kepada siswa cukup berat hingga emak-emak harus berjibaku membantu menyelesaikan tugas-tugas itu. Alhasil, dalam kondisi seperti ini, terjadi pergulatan psikologis bagi emak-emak. Ada yang setuju sistem pembelajaran daring diteruskan. Ada yang minta dikembalikan ke model lama yakni tatap muka di sekolah dengan catatan menggunakan protokol kesehatan secara ketat. Yang setuju menyebut lebih menyayangi si buah hati sehat daripada terjangkit Covid-19 hingga bisa mengancam jiwa. Yang tidak setuju mengatakan model daring tidak membuat si buah hati tambah cerdas hingga mengancam kehidupan bangsa, mengingat usia anak-anak sekolah saat ini ke depan bakal menjadi pilar generasi penerus bangsa. Apalagi kondisi mal, dan tempat-tempat keramaian lain kini sudah dibuka, makin membuat emak-emak yang tak setuju daring makin gemas karena banyak di antara anak-anak usia sekolah terlihat pula di area seperti itu. Tegasnya, mereka menganggap percuma sekolah model daring jika anak-anak usia sekolah bebas berkeliaran di mal atau tempat-tempat keramaian lain. Belajar dari dua persoalan ini, tidak seharusnya rakyat dibiarkan dalam kondisi bingung dan stres. Sudah waktunya pemerintah memiliki pola baru untuk menjaga generasi bangsa, semisal dengan mengatur sekolah tatap muka dengan jadwal ketat dan terstuktur seperti membagi siswa per kelas (tidak lebih dari sepuluh orang) hanya dengan satu jam pelajaran, dan kemudian bergiliran dengan siswa lain menggunakan perlakuan yang sama dan mata pelajaran yang diatur sesuai dengan kebutuhan setiap harinya. Bisa jadi model pembelajaran seperti ini dapat mengikis stres emak-emak di tengah perekonomian keluarga yang morat-marit akibat pandemi Covid-19 yang memporakporandakan perekonomian dunia, termasuk Indonesia.(*)

Sumber: