Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (39)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (39)

Tanah yang Mereka Injak Berasap Hitam dan Berbau Busuk

Pangeran Sabrang Kali tertawa ngakak. Panjang. Tawa yang mengerikan. Lebih mirip auman singa atau lolong srigala. “Kaget? Kalian kira mudah melepas nyawa Pangeran Sabrang Kali?” kata sosok tersebut. Paman Karim hanya tersenyum, “Kami tidak pernah tertipu oleh ulah iblis seperti kalian. Jangan sombong!” Pangeran Sabrang Kali tertawa semakin keras. Gemanya berpendar-pendar dan menjadi media memperluas lautan api. Seperti siraman minyak yang disemprotkan ke segala arah. Melihat kondisi yang kurang menguntungkan, Paman Karim berupaya mendekati Ghadi. Tapi tidak mudah. “Paman. Ada apa?” tiba-tiba Ghadi sudah berdiri di belakangnya. “Gunakan bola milik Kang Limin.” “Ini sedang kuupayakan.” “Ada kendala apa?” “Aku belum tahu. Tidak bisa mereaksi segala kata kunci.” “Lupakan sa…” Paman Karim belum menyelesaikan ucapannya ketika dari empat penjuru mata angin berembus udara panas disusul gelombang api bergulung-gulung. “Rangkul aku, Paman,” kata Ghadi, yang segera merapalkan doa melipat bumi. “Tapi Kanda Zalim masih di sana,” kata Paman Karim. “Beliau sudah bersama kita,” kata Ghadi sambil buru-buru merapalkan doa melipat bumi. Sedetik kemudian mereka bertiga sudah mendarat di lereng utara puncak Lawu. Setelah menempatkan Sultan Zalim di tempat aman, Ghadi dan Paman Karim balik ke medan laga. Di sana sudah menunggu bapak-anak Sultan Tara-Pageran Sabrang Kali. Wajah mereka beringas kesal. Teramat sangat kesal. “Kukira kalian sudah berubah jadi pengecut, tinggal glanggang colong playu,” kata Sabrang Kali. “Percuma kalian selamatkan Zalim. Senjataku sudah melukai punggungnya. Dalam hitungan dua kali matahari tenggelam, dia tidak akan terselamatkan,” sela Sultan Tara. “Nyawa di tangan Allah,” kata Ghadi, “Tapi nyawa kalian sudah dipercayakan kepada kami untuk mencabutnya.” Ghadi sudah tidak berbasa-basi lagi. Langsung dipukulkannya tongkat ke tanah. Dalam sekejap tanah yang diinjak Sultan Tara-Pangeran Sabrang Kali pecah dan menelan tubuh mereka. Mak-hleb… Satu menit-dua menit tidak terjadi reaksi. Suasana malah terasa sepi yang mati, senyap yang lenyap. Hening. Namun di sisi lain, Ghadi dan Paman Karim juga merasakan suasana mencekam yang mengancam. Mereka meningkatkan kewaspadaan dengan mempertajam kemampuan kelima indra. “Aku merasakan ada ancaman yang teramat sangat,” bisik Paman Karim sambil menempelkan punggungnya ke punggung Ghadi. Yang diajak bicara hanya diam. Bibirnya tidak bergerak. Tapi, kata hatinya dicoba sambungkan ke pendengaran hati Paman Karim. Kontak. Mereka sepakat untuk terus berusaha menghidupkan senjata bola Pakde Limin. Pada saat bersamaan, tanah yang mereka injak mengepulkan asap. Warnanya hitam dan berbau busuk. “Tahan napas sebisa-bisanya. Tampaknya ini asap beracun yang diembuskan Sultan Tara dari perut bumi,” kata hati Paman Karim, yang diiyakan Ghadi. (bersambung)       Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: