Dibekap dari Belakang, Digendong ke Kamar, dan Dilucuti

Dibekap dari Belakang, Digendong ke Kamar, dan Dilucuti

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Sejak Ableh ketahuan semakin ngawur melampiaskan hawa nafsu, Nani takut. Dia khawatir anak-anaknya yang lain diembat juga. Nani seperti menghadapi buah simalakama: kalau lapor polisi, suami pasti dipenjara; kalau tidak lapor, takut anak kedua dan ketiganya jadi korban. Setelah memikirkan untung ruginya, Nani akhirnya mengambil jalan tengah. Dia menjauhkan anak-anak dari rumah. Si sulung yang sudah tamat SMA bakal dititipkan bekerja kepada temannya yang punya usaha pengolahan daging ayam, yang nomor dua (lulus SMP) dan nomor tiga (lulus SD) dimasukkan pondok pesantren. Dengan begitu anak-anak diharapkan bisa jauh dari terkaman ayah mereka. “Aku bertekad: meski sering sendirian di rumah, asal anak-anak bisa diselamatkan,” kata Nani. Sejak itu Nani tidak lagi didera perasaan waswas memikirkan anak-anak dan bisa fokus membesarkan warungnya. Sebab, Jono tidak lagi bisa diharapkan. Kerjanya hanya lontang-lantung bersama teman-temannya. Memang kadang Nani menemukan uang dalam jumlah besar di saku baju atau celana Jono. Tapi, dia tidak berani mengambilnya atau memanfaatkan untuk kebutuhan. Sebab, suatu saat hal itu pernah dia lakukan dan ketahuan Jono. Apa yang lantas terjadi? Nani dituding macam-macam. Tidak hanya itu, Nani juga ditampar dan didorong hingga terjengkang di lantai dapur. Nani sudah kapok. Dia bertekad cari duit sendiri untuk memenuhi kebutuhan diri dan anak-anaknya yang di pondok. Beruntung anak sulungnya mengerti beban berat ibunya rela menyisihkan pendapatannya yang tidak seberapa. Repotnya, kini kalau kangen kepada anak-anaknya Nani tidak bisa serta merta mengobati hatinya. Dia harus mencari waktu luang. Masalahnya, anak-anak sudah tidak ada yang mau menginjakkan kaki di rumah. Andai terpaksa harus bertemu ibunya, anak-anak lebih suka datang ke rumah neneknya yang sudah pindah ke kawasan Kletek, Sidoarjo. Lebih baik menunggu di sana daripada harus bertemu ayah. “Kejadian menyesakkan pernah kuhadapi saat anak kedua naik. Dia dapat telepon yang mengabarkan saya sakit. Bergegas dia pulang tanpa menunggu adiknya yang masih ada pelajaran,” kata Nani. Anaknya tadi, sebut saja Mimin, njujug ke rumah neneknya, tapi rumah dalam kondisi kosong. Mimin mengira kakek dan neneknya nyambangi ibunya. Bergegas Mimin pulang ke rumah. Tapi, apa yang terjadi? Rumah tertutup rapat. Diketuk beberapa kali, tidak ada jawaban. Mimin mencoba masuk lewat pintu belakang, lewat pintu samping yang tidak terkunci. Sampai di teras belakang, tiba-tiba ada yang membekap. Kuat dan kasar. Sampai Mimin terasa lemas. Antara sadar dan tidak, dia merasakan orang yang membekap tadi menggendongnya masuk kamar. Mimin mencoba memberontak, tapi tidak punya tenaga. Tubuhnya lemas. Pembekapkapnya lantas melepas satu per satu pakaiannya. Sampai tidak ada yang tersisa. Mimin hanya bisa menangis ketika orang tersebut menindihnya. (bersambung)  

Sumber: