Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (14)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (14)

Lintasan Gada Liar Menyebabkan Sultan Memperbaiki Kuda-Kuda

Mendengar ajakan yang disampaikan Ghadi, wajah Sultan Zalim merah membara. Kalimat dari anak muda itu dinilai sebagai ejekan, karena selama ini Sultan dikenal sebagai musuh bebuyutan kaum muslim. “Langkahi dulu mayatku, aku baru beriman kepada rasulmu,” kata Sultan. “Kalau begitu, maafkan aku kalau terpaksa membunuh mertua sendiri,” kata Ghadi. Tetap disertai senyum. “Mertua? Apa maksudmu?” kata Sultan sambil mengayunkan pedang pelan,. Sebagaimana dilakukan Ghadi. “Ketahuilah Ayah,” kata Ghadi. Matanya menatap tajam Sultan. “Aku adalah pemuda yang membawa lari dan menikahi anakmu, Putri Laila. Kenalkan, akulah Pendekar Ghadi,” imbuh Ghadi. Pemuda tersebut melihat kilatan amarah di sorot mata Sultan Zalim. Tanpa diduga, Sultan bersalto di udara sambil menyabetkan cemeti tengkorak ke arah Ghadi. Bunyi gemeletar seperti geledek di tengah badai. Memekakkan telinga. Beberapa prajurit memegang telinganya yang mengeluarkan darah. Satu per satu mereka roboh tanpa nyawa. Ghadi membentingi diri dengan gerakan memutar tombak lentur di tangan kanan secepat kitat, sementara tangan kiri melempar pisau kecil. Pisau itu menyerempet tangan kanan Sultan. Cemeti lepas. Ghadi menggunakan jurus berpindah tempat seperti kilatan cahaya untuk merebut cemeti tadi sebelum jatuh ke tanah. Nahas. Tepat ketika cemeti sudah terpegang, Ghadi merasakan punggungnya seperti kejatuhan gunung. Rupanya Sultan bisa membaca gerakan-gerakan Ghadi yang dikamuflasekan sebagai cahaya petir. Tak urung hafiz 30 juz Alquran itu sesak napas. Dadanya ditekan ke tanah oleh injakan kaki sang Sultan. Hampir-hampir saja Ghadi terputus napas. Beruntung serangan Sultan berikutnya terhalang sebuah gada yang nyelonong lewat. Entah milik siapa dan ditujukan kepada siapa. Yang jelas, lintasan gada liar itu menyebabkan Sultan harus memperbaiki kuda-kuda dengan menarik kaki yang menginjak punggung Ghadi. Sebuah desingan sangat keras terdengar dari sisi kanan. Dan, desingan itu mengarah ke kakinya yang terkulai lemah. Bila tak segera diselamatkan, Ghadi bakal kehilangan kedua kaki untuk selama-lamanya ditebas pedang Sultan. Dengan sisa kekuatan yang ada setelah baru bebas bernapas, Ghadi menarik kaki ke depan dan melemparkan kepala perputar di tempat. Seperti aksi bersalto atlet lompat indah. Berhasil. Berbarengan dengan itu, Ghadi malah berkesempatan melihat arah gerakan yang sedang dilakukan Sultan. Dia mengincar bagian bawah tubuh Ghadi dengan menendangputarkan kaki kiri. Ghadi segera menjejakkan kaki di udara sedepa sebelum sempat menyentuh tanah. Serangan Sultan pun mengenai ruang kosong. Dia lantas menggeram sangat keras. Geraman gerah. Putus asa. Kesempatan ini digunakan Ghadi untuk berdiri tegak. “Bagaimana Ayah? Sudah mau bertobat?” goda Ghadi diiringi senyum, “Sebelum nyawa copot dari tubuh, masih ada kesempatan Ayah untuk bertobat.” Sultan diam. Dia memandang Ghadi dengan sejuta amarah. Itulah yang dirasakan Ghadi. “Doakan cucu Ayah segera lahir,” pinta Ghadi sambil menunduk hormat. Walau begitu, matanya masih terus mengawasi Sultan. (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: