Kecelakaan Kerja, Terpaksa Masuk Jeratan Rentenir

Kecelakaan Kerja, Terpaksa Masuk Jeratan Rentenir

Oleh: Yuli Setyo Budi  Anugerah dan musibah adalah warna dan seni kehidupan. Masalahnya yang sering terjadi, kita sering lupa saat mendapat anugerah dan mudah menyerah saat ditimpa musibah. Pasrah kemudian berserah diri, mungkin lebih baik. Tapi, bila telalu mudah pasrah dan akhirnya mengambil jalan yang salah,.. ah sudahlah. Malam itu Memorandum kembali ke pangkalan nasi goreng dengan niat sengaja menunggu Prayogi dan menemaninya ngobrol. Jarum pendek di jam tangan ada di antara angka 8 dan 9. Prayogi belum datang juga. Sial kah Memorandum? Sebatang rokok hampir habis. Keberuntungan belum juga datang. “Bakal apeslah malam ini, kadung pamit pulang sore dari kantor padahal,” guman Memorandum. Beruntung sial tak jadi menghampiri. Ketika Memorandum hendak beranjak pergi, Prayogi datang dengan motor yang sama dan membawa serta gadis kecilnya. Oh…. Memorandum baru menyadari kalau ada yang salah pada cara jalan Prayogi. Belum sempat Memorandum menyapanya, Prayogi sudah nyelonong duduk di samping, setelah sebelumnya memesan satu nasi goreng dan satu mi goreng. “Kaki saya catat setelah kecelakaan kerja, Mas,” kata Prayogi, yang sepertinya tahu apa yang ada di benak Memorandum. Memorandum hanya bisa menjawab iya. Tanpa bisa bertanya-tanya lebih. Sepertinya memilih menjadi pendengar yang baik adalah cara terbaik untuk mengorek cerita rumah tangga Prayogi. Tanpa diminta, Prayogi meneruskan cerita tentang kakinya yang tidak bisa membuatnya berjalan normal. “Ini sudah empat4 tahunan, Mas. Seumuran dengan anakku itu. Kalau tidak salah sekitar dua bulan sebelum dia lahir,” katanya. Dia akui, saat itu dia sedang bekerja sebagai kuli dan bersiap siap menyambut kelahiran anak pertamanya. “Saya memang sering lembur untuk persiapan persalinan. Mungkin karena lelah atau kurang fokus, gergaji mesin yang saya gunakan untuk memotong besi lepas dan mengenai kaki saya,” kata Prayogi. Musibah itu mulai menimbulkan masalah dan beban berat pada keluarga. Biaya persalinan belum tercukupi, mereka harus menyiapkan biaya perawatan kaki Prayogi. “Gak ada BPJS, tah?” tanya Memorandum “Alah Mas. Kalau ada pun, tidak bisa menutupi semuanya. Bantuan dari teman dan mandor juga tak seberapa. Padahal istri mulai hamil tua. Pilihan satu-satunya ya utang ke rentenir,” kata Prayogi. Memorandum paham seberapa mencekiknya rentenir berkedok koperasi simpan-pinjam yang suka mencari nasabah keluar masuk kampung itu. Bunga mereka lebih dari 20 persen dengan masa pengembalian belasan minggu saja. “Hasil utang bank titil ternyata belum cukup,” jelas Prayogi. Bank titil merupakan sebutan umum bagi tukang kredit yang menawarkan pinjaman berkedok koperasi simpanpinjam. “Trus, utang ke bank swasta?” tanya Memorandum. “Iya, Mas. Kami butuh lebih dari Rp 30 juta dengan jaminan surat tanah di desa. Bunganya 10 persen setiap bulan. Selama ini kami belum bisa membayar utang pokoknya. Setiap bulan harus bayar cicilan Rp 3 juta,” papar Prayogi, yang malam itu mengenakan jaket parasit hadiah showroom motor. (*/bersambung)  

Sumber: