Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (6)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (6)

Mandi Bersama di Sungai setelah Menginap di Tengah Hutan

Kemahiran Laila mengendalikan kuda tidak kalah dari koboy di film-film western, pendekar Shaolin di film-film Mandarin, apalagi inspektur polisi di film-film besutan Bollywood. Mereka berkuda hingga matahari tenggelam. Melewati jalan besar dan setapak. Kaluar-masuk perkampungan. Menyeberangi sungai. Menembus pekat rindang belantara. Sirine masih terdengar meraung-raung. Laila terus memacu Bledek, yang berlari cepat tanpa lelah. “Kapan kita berhenti?” tanya Andik. “Sampai suara sirine itu tidak terdengar lagi.” Baru menjelang tengah malam suasana terasa hening. Hanya terdengar suara hewan malam dan gemericik air mengalir. Laila memperlambat lesatan Bledek, tapi tidak sampai berhenti. “Kita cari tempat istirahat di dahan pohon tinggi,” kata Laila sambil melompat turun dan mencopot tas besar yang tergantung di pelana. Kemudian dia menepuk pantat Bledek. Kuda itu pun berlari menghilang di kegelapan malam tengah belantara. “Mengapa Bledek kau lepaskan?” tanya Andik bingung. “Dia lebih bisa mencari tempat istirahat sendiri. Yang aman dan nyaman. Besok kita panggil.” Laila lantas mengajak Andik naik sebuah pohon. Andik merasa beruntung pernah tergabung dalam kegiatan Pramuka, jadi tidak begitu asing dengan hutan dan pohon raksasa di tengah belantara. “Kita lebih aman di sini, karena Ayah pasti juga mengerahkan pasukan udara untuk mencari aku. Rindang dedaunan bisa membantu menyamarkan keberadaan kita,” kata Laila, “Usahakan tidur. Besok perjalanan kita masih panjang.” Malam itu Andik mencoba memejamkan mata. Tidak berhasil. Sekejap pun. Dia selalu mengawasi Laila yang tidur di dahan besar agak jauh darinya. Tampak lelap. Andik sempat membatin: mimpikah dia? Andik merasa kejadian-kejadian yang dialami akhir-akhir ini, terutama sejak lulus dari SMA, tidak wajar. Bahkan sampai dia terdampar di dahan pohon raksasa bersama seorang gadis. Bukan ding. Lebih tepatnya sejin gadis. Nyatakah ini? Andik mencubi-cubit dirinya. Sakit. Ternyata bukan mimpi. Dia mencoba nekat akan terjun dari ketinggian dahan tempatnya istirahat. Takut terluka. Berarti benar-benar nyata. Karena tak juga bisa tidur, Andik menghafalkan wirid dan doa-doa yang diajarkan Pakde Limin. Hampir semuanya dia hapal. Hanya satu wirid yang dia lupa, yaitu membuka tabis dunia jin dan manusia. Fajar menjelang. Andik lantas turun, kemudian mencari suara gemericik tidak jauh darinya. Ketemu. Sebuah aliran sungai yang bening. Ini tampak nyata dari pantulan sinar bulan yang menembus celah-celah ranting. Satu per satu pakaiannya dicopot. Kemudian mandi. Berkubang di tengah sungai. Dingin. Menyengat. Tapi segar. Saat sedang asyik-asyiknya menggosok tubuh dengan bebatuan, terdengar suara gemerisik. Andik terkejut. Dia mencari arah suara. Ternyata dari daun-daun yang bergesek. Lantas muncul sesosok perempuan yang sudah dikenalnya. Laila. “Maaf aku sedang mandi,” kata Andik. Laila seolah tak mendengar dan terus mendekat. “Maaf aku tidak berpakaian,” kata Andik. Laila bergeming. Dia terus melangkah maju. (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: