Harga Anjlok, Petani Garam di Gresik Menjerit

Harga Anjlok, Petani Garam di Gresik Menjerit

Gresik, memorandum.co.id - Petani garam di Kabupaten Gresik menjerit. Sebab, di musim paceklik gegara Covid-19 yang belum usai, harga garam merosot drastis di pasaran. Mereka pun mengeluhkan anjloknya harga tersebut, hingga mengancam akan pindah haluan mencari pundi rupiah dengan pekerjaan lain. Hal itu disampaikan Pengurus Asosiasi Persatuan Petani Garam Gresik, Suri. Ia menuturkan, para petani tidak kuat ketika harga jual bumbu dapur tersebut anjlok. Diketahui harga di pasaran sangat lah rendah. Keluhan tersebut lantaran, harga yang ada tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan. "Harganya anjlok, sekarang dikisaran Rp 250 sampai Rp 300 per kilonya," beber Suri pada wartawan, Minggu (30/8/2020). Menurutnya, salah satu yang menjadi faktor utama harga garam petani lokal anjlok adalah impor garam dari luar. Kebijakan impor tersebut membuat garam dalam negeri tidak mendapat pasar. Sebab, kalah saing dari segi harga dan kualitas dari garam impor. Dan jika ini terus terjadi, tidak menutup kemungkinan para petani garam akan gulung tikar dan meninggalkan profesi ini. "Memasuki panen raya, harganya malah anjlok. Gara-gara kebijakan impor garam," keluhnya. Masih menurut Suri, para petani baru bisa bernapas lega ketika harga berada di kisaran Rp 700 ke atas per kilonya. Dengan harga itu, biaya produksi terganti dan masih ada sisa untuk kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, salah seorang petani garam Sarimin (47) menceritakan kepada awak media. Selama puluhan tahun menjadi petani garam di kota Pudak, baru panen raya ini harganya anjlok mengejutkan. Menurut pria lulusan SD itu, harga garam tahun ini yang paling buruk selama ia berkiprah sebagai petani garam. Hal itu sempat memunculkan niatan untuk berhenti sebagai petani garam dan mencari pekerjaan lain. Pria empat orang anak itu menyebut harga garam kali ini hanya Rp. 350 ribu per tonnya. Itu pun masih kotor. "Tidak cukup, kalau seperti ini saya mau pindah kerja ke Jakarta ikut saudara jaga toko saja," keluhnya. Ia menambahkan, dari Rp 350 ribu itu ia masih harus membaginya dengan pemilik lahan dan biasa operasional produksi. Sarimin menduga, anjloknya harga garam lokal karena adanya kebijakan impor garam dari luar negeri. Membuat petani lokalan kewalahan karena tidak mampu bersaing harga. Ia sendiri diketahui mengelola lahan dengan total 2 hektar berada di Desa Roomo, Kecamatan Manyar. Selama melakukan produksi, ia dibantu istrinya. Namun, lahan tersebut bukanlah miliknya. Ia hanya menyewa lahan dengan perjanjian bagi hasil 40 persen untuk dirinya dan sisanya untuk pemilik lahan. Tidak hilang akal, selama kondisi masih seperti ini. Ia pun nyambi jadi pengangkut garam menuju gudang penyimpanan. Satu karung garam yang diangkutnya dihargai seribu rupiah. "Pemerintah kalau bisa jangan impor, kasihan petani garam. Saya sejak kecil lulus SD sudah ikut jadi petani garam. Kalau harganya seperti ini, keluarga saya mau dikasih apa?, keluh pria asal Kabupaten Sumenep dengan empat orang anak itu. (and/har/fer)

Sumber: