Anak Dihujani Hadiah, Dijebak Masuk Kamar Janda Kinclong

Anak Dihujani Hadiah, Dijebak Masuk Kamar Janda Kinclong

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Sebagai petinggi perusahaan BUMN, kondisi perekonomian Reno tergolong amat mapan. Karena itu, wajar saja bila duren sawit (duda keren sarang duwit) ini menjadi incaran banyak perempuan pasca kematian istrinya. Baik yang masih jomblo maupun yang sudah berstatus janda. Selain Nani dan Nurul, masih ada sederet perempuan lain yang mengincar atau dijodoh-jodohkan sebagai calon Reno. Salah satunya teman Reno di komunitas pecinta bunga. Dia janda beranak satu, mantan istri pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian. Usianya belum terlalu tua. Sekitar 40 tahun. Walau begitu, wajah dan bodinya tampak seperti perempuan berusia di bawah 30. Kulitnya masih teramat sangat kencang sekale. Saking sempurnyanya, orang-orang di sekitar menuding perempuan tadi, sebut saja Rima, menjalani operasi plastik. Pokoknya kinclong-lah. Rima selalu menjaga penampilan. Selalu tampak fresh dan segar. Dia tidak pernah menampakkan kesedihan di depan banyak orang. Hanya, pendekatannya kepada Reno dirasakan lelaki pendiam ini masih over. “Dia teramat sering datang ke rumah dengan membawa hadiah untuk anak-anak. Hadiah-hadiah itu sampai memenuhi separuh kamar. Sampai anak-anak curiga: ada apa dengan orang ini. Ingin merebut ayah? Ini kan lucu,” kata Reno. Karena Reno kurang merespons umpan-umpan yang dilemparkan Rima, perempuan ini pernah berputus asa dan mencoba melakukan pendekatan secara kurang sopan. Rima menjebak Reno dengan mengundangnya tasyakuran di rumah. Setelah semua tamu sudah pulang dan Reno hendak pamit, Rima menggiring Reno masuk kamar. Di kamar, Rima sudah memosisikan diri dalam keadaan siap tempur. “Untung aku masih ingat keadaan,” kata Reno, yang tanpa pamit langsung angkat kaki pulang. Keesokan harinya Rima secara khusus menemui Reno sekadar untuk minta maaf. Dia juga mengaku terang-terangan menaruh rasa sayang kepada anak-anak Reno dan berniat menjadi ibu pengganti bagi mereka. “Jujur saja, mendengarnya saja aku merasa eneg. Kok ada perempuan sanggup merendahkan diri sampai sebegitu rendahnya,” kata Reno menilai cara pendekatan Rima yang terlalu memprihatinkan. Reno mengaku sebenarnya punya pilihan sendiri. Teman kuliahnya semasa di Jogjakarta. Dia juga seorang janda, tapi tanpa anak. Suaminya meninggal dalam kecelakaan ketika menjalankan tugas di pedalaman Kalimantan. “Masalahnya aku belum yakin apakah dia juga tertarik kepadaku. Waktu kuliah sih kami sama-sama naksir. Hanya, kami sama-sama pemalu. Dia kedahulan di-ta’aruf seseorang yang masih kerabatnya,” kata Reno. “Bagaimana dengan pilihan Ibu?” tanya Memorandum. “Justru di sini masalahnya. Bunda menyerahkan pilihannya kepada anak-anak yang juga cucu-cucunya. Padahal, seperti yang sudah aku ceritakan, anak-anak punya pilihan masing-masing,” kata Reno. Kalimat ini dilepas dengan mengembuskan napas panjang. Tanpa disadari Reno, tenyata curhatnya kepada Memorandum via telepon tadi didengar anak-anak secara berjamaah. Kata Reno, mereka duduk di belakang sofa tempat Reno duduk. Mendengarkan dengan khusyu’ dan tuma’ninah. Ketika ulahnya mendengarkan telepon secara sembunyi-sembunyi diketahui sang ayah, mereka tersenyum malu. Keduanya saling memandang, kemudian berkata lirih. “Pilih yang mana, terserah Papa,” kata keduanya hampir bersamaan. Reno tertegun. Dia menahan tawa ketika anak-anak mengajak Reno bersalaman segitiga. Memoranmdum yang menunggu mendengarkan kelanjutan kisah anak-bapak ini tidak tahan dan bertanya kepada Reno, “Jadi keputusan Mas Reno?” “Aku tidak mau terlambat lagi,” katanya tegas, kemudian pamit sambil menutup telepon. (habis)

Sumber: