Diperkenalkan, Ayah Menghilang; Ningsih Terkulai Lemas, Pingsan
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Nanang segera angkat kaki. Dia tidak ingin terlalu lama menyiksa perasaan Riamah. Pemuda berdada bidang tersebut kembali ke rombongan dan berbaur bersama mereka. Sejak itu hingga pulang, Nanang tidak mau memisahkan diri dari kelompok atau menyendiri. “Masih banyak contoh lain. Alhamdulillah aku bisa jaga kehormatan seperti pesan Papa,” kata Nanang. Setelah tuntas menyelesaikan kuliah, Nanang tidak menjadi pengangguran terlalu lama. Tidak sampai tahunan. Hanya beberapa bulan, dia diterima kerja di sebuah perusahaan PMA (penanaman modal asing). Nanang memang pribadi yang menyenangkan sehingga gampang masuk komunitas apa pun. Mudah bergaul, punya motivasi tinggi, dan pandai menjalin komunikasi. “Setelah positif diterima kerja di perusahaan PMA, aku berniat memperkenalkan Ningsih ke keluarga,” tutur Nanang dengan nada optimis. Sebelum mengajak Ningsih ke rumah, Nanang meminta izin ayah dan ibunya. Ini dilakukan agar mereka mereka tidak terlalu terkejut. Iya kalau siap, kalau tidak? Pokoknya Nanang berharap semua berjalan lancar. “Dia cantik, kan?” goda Erfan. “Nanang pasti tak mau kalah saingan oleh Papa,” sahut mama Nanang. “Kapan kau kenalkan dia kepada kami?” tambah Erfan. Nanang tersenyum dan berjanji secepatnya mengajak sang pacar ke rumah. Yang jelas, kabar bahwa ayah dan ibunya sudah welcome segera dikabarkan ke Ningsih. Tentu saja kabar itu disambut baik. Tepat pada hari yang sudah ditentukan akhirnya Nanang menjemput Ningsih di rumahnya di daerah perbatasan Surabaya-Sidoarjo. “Aku tidak sabar terlalu lama berada di perjalanan. Kemacetan di kawasan Karangpilang amat menyesakkan. Aku ingin terbang saja membawa Ningsih menembus halangan dan rintangan.” Alhamdulillah sebelum jam makan siang seperti yang direncanakan, mereka sudah berada di muka pintu rumah. “Kami mengetuk pintu dan dibukakan Mama. Dia tersenyum lebar menyambut kami,” kata Nanang, yang mengaku bahagia melihat deretan gigi putih mamanya. Saling memperkenalkan nama dan cipika-cipiki mereka lakukan dengan suasana ceria. “Yang, ini Mama,” kata Nanang kepada pacarnya. “Ma, ini Ningsih,” tambah Nanang. Kedua perempuan yang paling disayangi Nanang ini lantas terlibat percakapan kecil. Nanang menatap mereka seolah melihat masa depan bahagia. Entah sadar atau tidak, hampir setengah jam mereka menghabiskan waktu bercakap sambil berdiri. Nanang sempat menoleh ke sana-kemari mencari sesuatu, tapi yang dicari tidak ada. “Papa ke mana?” tanya dia kepada mamanya. “Tadi di belakang Mama. Ke mana sekarang?” tutur mama Nanang sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Juga ke belakang. Kosong. Ternyata yang dicari tampak sedang terduduk lesu di sofa. Dia sama sekali tidak merespons ketika namanya di panggil sang istri. Juga ketika namanya disebut Nanang. Wajahnya masih ditenggelamkan di antara kedua lutut. “Pa… ini Ningsih,” kata Nanang sambil berdiri di depan ayahnya. “Yang… ini Papa,” kata Nanang lagi. Erfan perlahan-lahan mengangkat wajah. Sangat pelan. Wajah itu sama sekali tidak berekspresi. Jangankan tawa, senyum tipis saja tidak. Tatapannya kosong. Ketika sedang melihat wajah ayahnya yang tampak aneh, Nanang merasakan tubuh Ningsih di samping kirinya melorot pelan-pelan. Perlahan-lahan dan akhirnya nglimbruk tiada tenaga. Ningsih pingsan. (bersambung)
Sumber: