Kencan Short Time Cukup Bayar Rp 100 Ribu

Kencan Short Time Cukup Bayar Rp 100 Ribu

Menyusuri kehidupan apartemen di Surabaya saat ini benar-benar membikin ngiler. Betapa tidak, tinggal di tower dengan ketinggian hingga puluhan lantai seolah berada di atas awan, hingga dapat menggapai apa saja yang diinginkan. Bahkan hidup di apartemen maupun homestay seolah bebas melakukan apa saja, dibandingkan hidup di tengah-tengah masyarakat secara langsung. Sudah bukan isapan jempol lagi, kalau tinggal di sana siapa saja bisa melakukan apa saja. Sebagai contoh di pekan ini aparat Satresnarkoba Polrestabes Surabaya meringkus seorang guru les (native speaker, red) bahasa asing yang hampir saban hari diketahui pesta ganja di apartemen kawasan timur Surabaya. Meskipun aparat tak terhitung berapa kali melakukan penggerebekan narkoba, hingga prostitusi terselubung baik di apartemen atau di homestay, tapi segala penyimpangan itu seolah kian tak terbendung. Wartawan Memorandum yang juga melakukan penelusuran di beberapa homestay, masih menemuklan praktik-praktik itu masih tumbuh subur saja. Dua lokasi homestay yang sempat disinggahi Memorandum, dari tahun ke tahun ternyata juga tidak berubah. Di kawasan selatan Surabaya tepatnya di wilayah Dukuh Pakis atau tak jauh dari Mal Ciputra World, di sana bertebaran homestay yang menyediakan tempat nyaman bagi pasangan muda layaknya suami istri sah. Bahkan harga ditawarkan lebih miring, yakni dengan membayar Rp 200 ribu, tamu bisa menginap sehari semalam. Prosedurnya pun tak begitu ketat, mengingat pihak homestay juga butuh menjaring tamu sebanyak-banyaknya di tengah persaingan ketat sesama homestay. Tanpa ada prosedur khusus saat datang ke lokasi homestay. Pun ketika datang bersama wanita bookingan, di ruang resepsionis akan lolos begitu saja. “Sudah biasa seperti ini sebelum-sebelumnya,” ujar seorang pria bernama Edi yang bertugas menerima tamu di resepsionis. Namun bagi yang biasa check in di homestay, di balik kebebasan datang ke sana, beberapa kali pula aparat ternyata kerap merazia. Alasannya tempat itu memang sudah dikenal sebagai homestay mesum. “Tapi razia itu melihat momennya dan tak memengaruhi hunian,” imbuh Edi. kalaupun ada operasi hingga skala besar, jika mereka bersikap baik dengan aparat, maka semuanya bisa dikomunikasikan. “Tidak masalah itu,” kata dia. Bisa jadi lokasi homestay yang diapit di tengah perumahan kelas menengah ke atas, membuat masyarakatnya cenderung cuek. Fredy, seorang warga yang sempat ditemui mengaku tidak mempermasalahkan meski mereka tinggal berdekatan dengan lokasi homestay. “Terkadang jika ada penggerebekan kita malah tidak mengetahui. Tahunya beberapa hari setelah keluar di televisi,” aku Fredy. Berbeda di kawasan selatan Surabaya, di wilayah timur pun homestay juga tumbuh subur. Bahkan beberapa homestay di Kecamatan Sukolilo, memberikan penawaran lebih menggiurkan. Pilihan kencan short-time di sana malah dapat dilakukan. Dengan merogoh kocek kisaran Rp 100 ribuan, bisa menginap selama empat jam. Di Homestay Rotterdam, bahkan tidak perlu menunjukkan kartu identitas. Tamu dapat melenggang dan menggandeng pasangannya. Maka tidak salah, beberapa kali petugas polrestabes mengincar lokasi tersebut. Hasilnya beberapa kali penggerebekan, ikut diamankan pasangan muda yang tidak bisa menunjukkan surat ikatan perkawinan. Lantas bagaimana upaya kepolisian hingga Pemerintah Kota Surabaya, sejauh ini untuk menertibkan dan menindak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di apartemen maupun homestay? Benarkah lantaran belum ada regulasi yang mengatur tentang itu, ataukah ada indikasi pemerintah yang tak serius menindaknya. Ikuti laporan bersambung selanjutnya. (yok/bersambung)    

Sumber: