Surabaya Merah Tua, Kita Bisa Bantu Apa?
Presiden Jokowi menaruh perhatian. Doni Monardo datang memberi dukungan. BNPB menambah bantuan. Mengapa? Surabaya sedang dapat ujian. Kado pahit Ultah ke-727-nya 31 Mei lalu. Hebohnya luar biasa: kota yang biasa panen prestasi ini, mendapat prestasi lain di hari spesialnya. Judul di medsosnya: Surabaya menghitam. Lalu, ramai-ramai diklarifikasi, bukan hitam, tapi merah tua. "Seharusnya Pemprov Jatim memberi penjelasan tentang perubahan warna itu," kata Wakil Kordinator Humas Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid Surabaya M Fikser. "Itu menunjukkan Covid di Surabaya lebih dari 1.025 kasus," kata Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid Jatim, dr Joni Wahyuhadi, di Grahadi Selasa lalu. "Semakin banyak kasusnya di peta sebaran akan semakin pekat sehingga terlihat hitam," lanjutnya dikutip Surya.co.id. Sebagai warga, kita tidak usah kecewa, marah, apalagi caci maki. Kita harus akui bahwa kita juga punya andil memberi rapot merah hitam ini. Coba tanya sendiri: hari ini, masih keluar rumah kan? Masih ke pasar kan? Masih kerja di kantor kan? Masih keluyuran kan? Sering lupa pakai masker kan? Malas cuci tangan pakai sabun kan? Kadang lupa bawa hand sanitizer kan? Kalau ngomong masih belum mantab kalau tidak berdekatan kan? Kalau bayar di kasir masih bergerombol kan? Masih pakai uang kertas kan? Setelah sampai rumah malas mandi lagi kan? Dan, hari ini sudah boosting imunitas belum? Olah raga belum? Makan sayur belum? Buah belum? Berjemur belum? Jika semuanya sudah. Itu kontribusi besar kita kepada kota tercinta. Jika kita tidak terkena, kita tidak menambah keruwetan di keluarga kita, di kantor kita, di lingkungan sosial kita, di klub senam kita. Coba kalau terkena, langsung semua anggota keluarga dites, diisolasi. Semua teman kantor yang berhubungan dengan kita dites. Kantor bisa tutup, semua bisa karantina. Begitu juga di klub olah raga, langsung diminta bubar sementara. Semua dites dulu, mengisolasi diri dulu. Repot luar biasa. Kita punya peran besar. Tapi, mengapa begitu sulit. Di pasar misalnya, banyak kita temui yang belum tertib. Kalau ada pengunjung ditanya petugas kok tidak pakai masker: cuma beli brambang Pak, sebentar." Atau pedagangnya sendiri, yang salah menempatkan maskernya. tidak di mulut dan hidungnya, tapi di leher. Memang kurang nyaman bernapas dan bercakap dengan pembeli memakai masker, tapi ini corona. Bahayanya luar biasa. Contoh mutakhirnya yang bikin trenyuh: di Surabaya (Gubeng) satu keluarga meninggal dunia: mula-mula ayahnya, lalu anak perempuannya bersama bayi yang di kandungnya, lalu istrinya. Innalillahi wainna ilaihi roji'uun. Semoga husnul khotimah dan menjadi syuhada bencana. Tak bisa kita mengandalkan seorang walikota. Tak kan kuat dokter dan tenaga medis menanganinya. Tak akan cukup rumah sakit menampungnya. Kitalah yang juga harus ikut mencegahnya. Bersama-sama. Disiplin melawan corona. Suroboyo! WANI!(*) *Ali Murtadlo, Kabara Gembira Indonesia (KGI)
Sumber: