Awas, Perkawinan Usia Anak Meningkat di Masa Pandemi Covid-19

Awas, Perkawinan Usia Anak Meningkat di Masa Pandemi Covid-19

Surabaya, memorandum.co.id - Perkawinan usia anak ternyata masih cukup tinggi. Ironisnya, ini banyak terjadi di Jawa. Bahkan ada kekhawatiran akan terjadi peningkatan perkawinan usia anak pada masa pandemi Covid-19. Hal ini terungkap dalam diskusi webinar bertajuk Pandemi Covid-19 dan Pencegahan "Perkawinan Usia Anak di Jawa Timur," Rabu (20/5). Child Protection Officer UNICEF Indonesia, Derry Fahrizal Ulum mengungkapkan, berdasarkan rilis dari lembaga-lembaga di United Nation (PBB) menyebutkan untuk saat ini memang belum bisa dikatakan ada kenaikan angka perkawinan usia anak dengan terjadinya pandemi Covid-19. “Namun jika dalam jangka panjang akan mungkin ini berkorelasi. Karena ini berhubungan dengan masalah ekonomi dan terhentinya kegiatan di masyarakat,” tambah Derry. Derry mengungkapkan, bila melihat data dari BPS, perkawinan usia anak cukup tinggi terjadi di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. "Meskipun prevalensi tertinggi diduduki Provinsi Sulawesi Barat, namun secara absolut, ranking tertinggi perkawinan usia anak di Indonesia ditempati Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan jawa Tengah,” ujar Derry Fahrizal Ulum. Ditambahkan Derry, di Jawa Timur sebanyak 12,71 persen anak perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Ditambahkan pula bahwa secara nasional, menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2008-2018 yang menyebutkan, penurunan presentase perkawinan di bawah 18 dan 15 tahun cenderung lambat dalam 10 tahun terakhir. "Berdasarkan proyeksi Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015, diperkirakan perkawinan anak perempuan mencapai 1.220.900," ungkap dia. Bila pemerintah berhasil menyelesaikan di sana, maka itu sama halnya pemerintah telah berhasil menekan hampir 50 persen beban kasus perkawinan usia anak secara nasional. "Jadi penekanannya adalah memprioritaskan untuk menyelesaikan di Jawa dulu," kata dia. Sedangkan Presidium Jaringan AKSI, Rani Hastari menyebutkan, terkait upaya menekan angka perkawinan usia anak, banyak kebijakan-kebijakan di daerah yang alih-alih melindungi kaum perempuan, ternyata justru membuat diskriminasi. "Alih-alih melindungi anak, ternyata banyak aturan yang justru membatasi ruang tumbuh kembang anak,” ujar Rani Hastari. Sedangkan dari sisi kesehatan reproduksi, penanggung jawab Program Geliat Universitas Airlangga Surabaya, Dr Nyoman Anita Damayanti menyatakan, pengetahuan masalah kesehatan reproduksi itu sangat penting bagi setiap perempuan. “Dari hasil penelitian yang kami lakukan sejak 2015 hingga saat ini diketahui, bahwa semakin tinggi pendidikan yang ditempuh seorang perempuan, maka mereka cenderung untuk tidak menikah di usia dini. Namun demikian, tingginya pendidikan seorang perempuan, tidak menjamin pengetahuan mereka seputar kesehatan reproduksi juga tinggi. Ini yang harus diwaspadai,” ujar Nyoman Anita Damayanti yang juga sebagai pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair Surabaya tersebut. Menurut Nyoman Anita Damayanti, banyak perempuan yang tidak mengetahui resiko kehamilan di usia muda itu seperti apa, meskipun pendidikan mereka tinggi. Angka kematian ibu hamil di masa pandemi ini, sampai dengan April 2020, mencapai 180 kasus. Ini adalah angka yang cukup tinggi. Hal lain yang perlu menjadi perhatian di masa pandemi ini adalah, terdapat 590 ribu perempuan di Jawa Timur yang akan melahirkan di saat pandemi. Mereka harus memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan untuk menjamin keselamatan ibu dan bayi, padahal dalam kondisi saat ini banyak pihak memilih untuk tidak mengunjungi fasilitas kesehatan dengan alasan memutus penularan Covid-19. "Ini yang perlu diwaspadai. Ancaman kematian ibu hamil akibat tidak mengunjungi fasilitas kesehatan," jelas Nyoman Damayanti. (udi)

Sumber: