#kaburajadulu dan #IndonesiaGelap, Ungkapan Pesimistis Melihat Kondisi Negeri Ini

--
Oleh:
Staf pengajar Departemen Komunikasi Fisip Unair Surabaya
Hashtag #Kaburajadulu dan #Indonesiagelap tengah viral saat ini. Ada nada kekecewaan dan pesimistis melihat kondisi negara ini. Rasanya ingin mencari penghidupan yang lebih baik ke luar negeri. Hal ini berbarengan dengan banyaknya kebijakan kontroversial Prabowo-Gibran, mulai dari efisiensi anggaran, hingga Danantara.
Semua sektor terimbas akibat kebijakan ini. Elemen mahasiswa seluruh daerah berdemonstrasi menuntut pencabutan kebijakan ini. Namun, ada pola komunikasi yang patut ditiru yang dilakukan oleh Mensesneg, Prasetyo Hadi, dia menemui para demonstran di Patung Kuda Jakarta.
Intinya, Pemerintah RI menyanggupi semua tuntutan mahasiswa. Tidak ada penggebukan, semprotan water cannon, atau lemparan gas air mata dari aparat. Asap ban yang dibawa oleh para demonstran, dijawab dengan sebuah dialog. Sebuah contoh cara menghadapi demonstran yang simpatik.
Kita perlu mencontoh apa yang dilakukan oleh Pemerintah RI. Kedua hashtag itu dijawab oleh Pemerintah tanpa nada emosional, tetapi lebih memberikan pertimbangan kepada netizen dan masyarakat. Pemerintah memberikan berbagai keterampilan sebelum berangkat ke luar negeri.
Pengetahuan bahasa asing dan keterampilan yang spesifik dapat diakses lewat berbagai dinas tenaga kerja di berbagai daerah. Bahkan, beberapa persyaratan administratif diinformasikan sedetail mungkin. Semua itu dilakukan dalam rangka agar mereka tidak kebingungan di negeri orang. Terutama bermasalah secara hukum administrative. Secara tidak langsung, negara membiarkan hashtag itu berlangsung tetapi lebih mempersiapkan bagaimana hal itu betul betul terjadi.
Nasionalisme sempit?
Banyak yang mempertanyakan jiwa nasionalisme bagi anak muda yang mengusulkan dan mempopulerkan hashtag ini. Ada yang beranggapan kadar nasionalisme mereka sangat kurang. Di saat negara sedang kacau atau pemerintahan sedang membangun negara, mereka malah kabur ke luar negeri. Dalam kondisi apapun, seharusnya mereka tetap mencintai negerinya. Justru mereka harus berpikir bagaimana caranya memperbaiki kondisi dan kesejahteraan negara. Malah lari tunggang langgang.
Tetapi signalment/pernyataan ini dibantah oleh pemuda. Bagi mereka di mana pun keberadaannya jiwa nasionalisme mereka tetap kukuh. Pembuktiannya bisa dilihat dari dukungan mereka pada Timnas Indonesia ketika bertanding, atau di saat “Indonesia Raya” dikumandangkan, mereka serentak bernyanyi bersama. Sikap tegak dan hormat senantiasa diberikan kepada Sang Merah Putih di mana pun berada. Arinya, meskipun berbeda kepentingan, asal usul, bahasa, mereka bisa satu suara dalam Indonesia Raya.
Kedua hashtag ini, kurang mewakili masyarakat pada umumnya. Terutama, golongan penganut viralisme (pokoknya viral agar lebih banyak engagement dan pengikutnya). Masih lebih banyak golongan Masyarakat yang direpotkan oleh cara memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bagaimana harga kebutuhan bahan pokok melambung, elpiji 3kg subsidi susah didapatkan, atau mahalnya beberapa komoditas, membuat mereka lebih berpikir tentang hal esensial ini. Artinya, hal ini lebih mereka pikirkan daripada mendukung hashtag tersebut. Ini menandakan hashtag yang berasal bukan dari lapisan masyarakat tidak akan bergaung panjang dan diikuti oleh banyak orang. Dalam dunia media sosial, penggalangan dukungan terhadap hashtag ini tidak akan berhasil
Sumber: