Pakar Hukum Administrasi Unair Nilai RKUHP dan UU Kejaksaan Sebabkan Tumpang Tindih dan Rugikan Masyarakat

Pakar Hukum Administrasi Unair Nilai RKUHP dan UU Kejaksaan Sebabkan Tumpang Tindih dan Rugikan Masyarakat

Prof. Dr. Sri Winarsi, S.H., M.H., pakar hukum administrasi dari Universitas Airlangga. --

SURABAYA, MEMORANDUM.CO.ID - Beberapa ahli hukum administras ikut mengomentari tumpang tindih kewenangan kepolisian dan kejaksaan yang ramai dibicarakan akhi-akhir ini.  Salah satunya Prof. Dr. Sri Winarsi, S.H., M.H., seorang pakar hukum administrasi dari Universitas Airlangga. 

Ia menilai, bahwa ketidakjelasan pembagian kewenangan dalam RKUHP dan UU Kejaksaan menggambarkan minimnya harmonisasi antar-lembaga penegak hukum.

BACA JUGA:Dirjen HAM: KUHP Baru Mengenai Kohabitasi dalam Hak Asasi Manusia.


Mini--

“Penjelasan Umum dalam UU Nomor 11 Tahun 2021 telah memperlihatkan arah hukum politik pembentukan UU adalah untuk mengakomodasi prinsip prosecutorial discretion dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Artinya, kejaksaan menjadi memiliki kewenangan yang begitu besar," ungkapnya.

Ia menilai pasal 30B huruf a sangat kontroversial. Ia melihat, tidak ada interpretasi otentik terkait ruang lingkup intelijen penegakan hukum. Ia menilai bahwa kekaburan aturan ini dapat  menimbulkan peluang diinterpretasikan bahwa kejaksaan berwenang melakukan penyelidikan yang sebenarnya adalah kewenangan kepolisian.

Ini bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional KUHP. Diferensiasi fungsional sendiri merupakan salah satu prinsip utama dalam administrasi publik.

BACA JUGA:Samakan Persepsi Aparat Penegak Hukum di KUHP Baru

“Ketika batas fungsi antara kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik serta kejaksaan sebagai penuntut tidak ditegaskan, maka terjadi penyimpangan dari prinsip diferensiasi ini. Akibatnya, alih-alih bekerja secara sinergis, kewenangan kedua lembaga ini justru dapat saling tumpang tindih," katanya.

Ia berpandangan bahwa disahkannya UU Kejaksaan pada 2021 yang memperluas kewenangan kejaksaan berpotensi menciptakan dualisme kewenangan. Terlebih lagi, dalam persoalan ini konsep check and balance juga menjadi kunci utama mengakselerasikan mekanisme pengawasan dan pengendalian antar-lembaga yang efektif.

“Jika kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan tidak dipisahkan dengan jelas, pengawasan terhadap pelaksanaan tugas menjadi sulit dilakukan. Prinsip check and balance menjadi lemah, dan celah penyalahgunaan wewenang semakin besar” paparnya.

BACA JUGA:Peran PK Sebagai Ujung Tombak  UU KUHP dan UU Pemasyarakatan Dioptimalkan 

Ia menambahkan, prinsip proporsionalitas juga menuntut agar kewenangan yang diberikan kepada lembaga penegak hukum digunakan secara seimbang dan tidak berlebihan sehingga tidak terdapat salah satu lembaga yang over power atau menjadi super body di antara lembaga yang lain.

“Ketika ada tumpang tindih kewenangan, potensi penggunaan kewenangan secara berlebihan akan meningkat, pada akhirnya yang rugi adalah masyarakat,"  tambahnya.

Sumber: